Menumbuhkan Kompetensi dan Profesionalisme Pustakawan:
Sebuah Catatan
Oleh:
Wahid Nashihuddin,SIP.
1.
Pendahuluan
Istilah kompetensi dan professional
adalah dua modal yang harus dimiliki oleh setiap orang dalam menjalankan
aktivitas profesisnya, baik itu pegawai negeri, pegawai swasta maupun para wira
usahawan. Kompetensi berkaitan dengan bakat dan kemampuan seseorang dalam suatu
profesi (pekerjaan) yang memiliki sifat interpersonal (alamiah). Misalnya
ketika seseorang berkompeten di bidang perpustakaan, tentunya dia sudah
memiliki bakat di dalam ilmu tersebut, misalnya membuat katalog, nomor
klasifikasi, konsultan pustakawan, atau analis subjek. Pembelajaran dan
pelatihan hanyalah ilmu untuk memperdalam kompetensi tersebut. Sedangkan
profesionalisme lebih bersifat Institutional (bawaan), artinya bahwa
professional itu ada ketika seseorang itu memiliki keahlian untuk
menguasai dan memahami bidang profesi yang sesuai dengan visi dan misi dari
lembaganya. Tidak mungkin orang bekerja di lembaga Perpustakaan, keahliannya
dalam bidang Pertanian. Meskipun orang itu ingin belajar Ilmu Perpustakaan
sangat susah untuk memahami dan mengembangkannya. Karena profesionalisme adalah
satu rangkaian profesi yang keahliannya disesuaikan dengan tujuan dan visi
kegiatan dari lembaga tersebut.
Bagi pustakawan, semangat kompetensi
dan profesionalisme adalah kebutuhan dasar yang harus dikuasai. Karena
keduanya, adalah roda penggerak aktif dalam menjalankan fungsi dan tugasnya
dalam bidang kepustakawanaan yang objek dari kegiatannya meliputi sumber-sumber
informasi dan pengetahuan yang tujuannya dilayankan langsung ke pengguna
(masyarakat). Bagaimana Pustakawan bisa melayani kebutuhan masyarakat yang
begitu sangat kompleks dan beragam, kalau tidak memiliki kompetensi dan
profesionalisme yang tinggi dalam menyediakan sumber informasi, dan apa mungkin
masyarakat dapat terlayani dengan baik? Listiani (2007:81) menyampaikan beragam
pengguna memerlukan informasi yang berbeda, mengharuskan pustakawan
meningkatkan kemampuan kompetensinya dengan menguasai tiga macam pengetahuan
antara lain:
1.
Pengetahuan buku sumber informasi (bibliograpic control)
2.
Pengetahuan pemilihan media yang tepat (a sense media)
3.
Pengetahuan isi koleksi
Ketiga pengetahuan diatas menurut
Bernard Vavrek (Listiani, 2004: 2) merupakan suatu sarana atau prasyarat untuk
mencapai tujuan yang diinginkan yaitu menjembatani dunia pengetahuan dengan
para pengguna perpustakaan. Kualitas pustakawan diukur dari pemahaman yang
dimiliki mengenai visi dan misi, kemampuan menjabarkan program, kemampuan
identifikasi kebutuhan pengguna, kemampuan memilih dan memilah berbagai jenis
informasi aktual, kemampuan mengolah informasi secara sistematis sehingga mudah
ditemukan serta kemampuan mengkomunikasikan sumber-sumber informasi yang
dimiliki.
Meskipun Pustakawan hanya belajar
yang sifatnya technical services, tak ada salahnya pula mempelajari
disiplin ilmu lainnya. Pekerjaan teknis itu misalnya mengenai katalogisasi,
klasifikasi, dan manajemen perpustakaan, disaat itu pula dia harus mencari
pengetahuan dan pengalaman baru. Kompetensi ini diperlukan agar pustakawan bisa
dan mampu memanfaatkan peluang dari setiap pekerjaan pokoknya. Ketika
pustakawan membuat katalog dan nomor klasifikasi, ada ilmu lain yang bisa
bermanfaat dan menunjang karir-nya, misalnya dia bisa mengetahui topik-topik
dan bidang koleksi apa saja yang sudah disediakan perpustakaan, dan misalnya
belum ada kita bisa mencari sumber referensi lain dari website digital lembaga
perpustakaan lainnya. Terkait dengan keahlian yang dimiliki oleh pustakawan
professional, paling tidak seorang pustakawan harus menekuni dan
mendalami salah satu bagian dari ilmu perpustakaan. Misalnya pustakawan yang
ahli membuat Katalog dan klasifikasi tentunya dia harus memahami penggunaan
pedoman LC (Library of Congres) atau DDC (Dewey Decimal Classification). Begitu
juga kalau dia berminat menjadi konsultan pustakawan, tentunya harus sering
membaca topic-topik dari bidang yang diminatinya. Meskipun secara teknis dan
prakteknya kurang ahli, tapi dari segi pengetahuan dan manajemen dia ahli dan
terampil memanfaatkannya.
2.
Kompetensi Pustakawan
Kompetensi diartikan sebagai tolok
ukur guna mengetahui sejauh mana kemampuan seseorang menggunakan pengetahuan
dan kemampuannya. Ada dua jenis kompetensi yang diperlukan oleh pustakawan
yaitu kompetensi profesional dan perorangan (Salmubi,2005). Kompetisi ini
dibagi menjadi tiga kelompok yaitu Pertama, kompetisi sebagai mekanisme
strategi. Kedua, kompetisi sebagai tindakan yaitu kontrol atas produksi
dari pengetahuan produk yang dimiliki. Ketiga, kompetisi sebagai budaya
yaitu cara atau perilaku yang dilakukan untuk merespon pengaruh sistem pasar.
Menurut Wendy Carlin (2001 : 67-68)
ada dua cara utama dimana kompetisi bekerja. Pertama melalui insentif (incentives)
harapan kemajuan dalam teknologi, organisasi dan upaya yang dilakukan
perusahaan dengan memberikan tambahan penghasilan atau pengembangan kapasitas
pustakawan. Kedua melalui seleksi (selection), melakukan ujian
kompetensi pustakawan dalam periode tertentu.
Berbicara masalah kompetensi
pustakawan di Indonesia sampai saat ini belum memiliki pedoman yang jelas untuk
dijadikan acuan, baik itu indikatornya, ukurannya, sistemnya, maupun aturan
mainnya bagaimana? Dan siapa saja pihak yang berwenang untuk menguji dan
menilai kompetensi ini; Apakah pejabat fungsional Pustakawan yang ditunjuk,
Perpustakaan Nasional, atau Lembaga lain yang berkompeten dan berkepentingan
dibidang ilmu tersebut. Serta, pedoman mana yang akan digunakan, apakah UU
Perpustakaan No.43 Tahun 2007, Keputusan MENPAN No. 132 Tahun 2002 tentang
Jabatan Fungsional Pustakawan, atau Peraturan Kepala Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008.
Saat ini, para pustakawan di Perpustakaan
Nasional sedang bekerja keras untuk membuat standar kompetensi ini, mengingat
Perpustakaan Nasional sebagai pembina untuk semua pustakawan dan perpustakaan
di Indonesia. Selain standar pustakawan, harus ada standar koleksi, sarana dan
prasarana, pelayanan, penyelenggaraan dan pengelolaan. Tugas berat tetapi mulia
ini yang telah diamatkan oleh UU No.43/2007 tentang perpustakaan, bahwa
pustakawan harus memenuhi kualifikasi sesuai dengan standar nasional (pasal
11). Kalau profesi dosen dan guru sudah atau sedang dilakukan sertifikasi,
dengan melakukan pemberkasan portofolio, bagitu juga halnya dengan Pustakawan
untuk mengumpulkan angka kredit yang disesuaikan dengan besaran angka yang
dibutuhkan harus dicapai dalam setiap jenjang golongan untuk mendapatkan
kenaikan pangkat dan tunjangan profesi. Misalnya, Pustakawan golongan IIIa akan
naik menjadi IIIb, maka si pustakawan harus mengumpulkan angka kredit sebesar
50 – 70 point, sesuaikan dengan persyaratan yang ditentukan.
Selain itu, Pustakawan juga harus
berkompeten dalam penguasaan ICT. Hernandono (2005:4) mengatakan bahwa problem
yang dihadapi oleh pustakawan madya dan utama adalah kurang menguasai bahasa
asing dan kurang akrab dengan teknologi komunikasi dan informasi (ICT). Hal ini
mengakibatkan pustakawan menjadi “kelompok marginal” dalam masyarakat
informasi, karena komunikasi lebih sering memanfaatkan teknologi informasi.
Intinya dalam masyarakat informasi ini pustakawan harus dapat menyesuaikan diri
dan cepat tanggap dengan perubahan yang terjadi disekitarnya.
Berkaitan dengan aplikasi ICT ini,
pustakawan perlu mempunyai standar kompetensi yang paling dasar, yakni: (1)
memiliki kemampuan dalam penggunaan komputer (komputer literacy), (2)
kemampuan menguasai basis data (data base), (3) kemampuan dan penguasaan
peralatan TI, (4) kemampuan dalam penguasaan teknologi jaringan, (5) memiliki
kemampuan dan penguasaan internet, serta (6) kemampuan dalam berbahasa
Inggris..
Sebenarnya Masalah kompetensi ini
tidak hanya menyangkut masalah penguasaan ICT dan Angka kredit semata, ada
unsur lain yang wajib dilakukan pustakawan, misalnya aktif dalam organisasi
Kepustakawanan, seperti IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia), FPSI (Forum
Perpustakaan Sekolah Indonesia), ISIPII (Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan
Informasi Indonesia), dan organisasi pusdokinfo lainnya.
Di Indonesia, budaya kompetisi
pustakawan masih sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari praktek pustakawan
yang berlangsung hampir seluruh perpustakaan, hanya beberapa pesan saja yang
membawa pengguna dari kesadaran (awareness) ke pembelian, belum pada
pemuasan kebutuhan pengguna. Pustakawan masih sangat sederhana dan selalu
mendasarkan diri hanya pada kepentingan pribadi, bahkan lupa bahwa perpustakaan
sebagai sumber informasi. Misalnya sikap ketidakpeduliaan, berperilaku
seenaknya, tidak berperan aktif dalam pendayagunaan informasi yang tersedia di
perpustakaan. Penelitian Loehoer Widjajanto dkk (Listiani, 2004: 4) menemukan
hanya 29% pustakawan yang melakukan penelusuran ke perpustakaan lain demi
kepuasaan penggunanya.
3.
Profesionalisme Pustakawan
Profesionalisme pustakawan mempunyai
arti pelaksanaan kegiatan perpustakaan yang didasarkan pada keahlian dan rasa
tanggungjawab sebagai pengelola perpustakaan. Keahlian menjadi faktor penentu
dalam menghasilkan hasil kerja serta memecahkan masalah yang mungkin muncul.
Sedangkan tanggungjawab merupakan proses kerja pustakawan yang tidak
semata-mata bersifat rutinitas, tetapi senantiasa dibarengi dengan upaya
kegiatan yang bermutu melalu prosedur kerja yang benar. Ciri-ciri
profesionalisme seorang pustakawan dapat dilihat berdasarkan
karakteristik-karakteristik sebagai berikut;
1.
memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, kecakapan dan keahlian yang mumpuni
dalam bidangnya
2.
memiliki tingkat kemandirian yang tinggi
3.
memiliki kemampuan untuk berkolaborasi dan bekerja sama
4.
senantiasa berorientasi pada jasa dan menjunjung tinggi kode etik pustakawan
5.
senantiasa melihat ke depan atau berorientasi pada masa depan .
Profesionalisme dalam setiap
pekerjaan pustakawan saat ini mutlak dibutuhkan , dengan memiliki cara kerja
pelayanan dengan berprinsip pada people based service (berbasis
pengguna) dan service excellence (layanan prima) yang hasilnya
diharapkan dapat memenuhi kepuasan penggunanya. Dampak positifnya adalah peran
pustakawan semakin diapresiasi oleh banyak kalangan dan citra lembaganya
(perpustakaan) akan menjadi naik.
Ironinya, pustakawan masa kini,
profesionalisme itu hanya untuk memperkaya diri dan bukan untuk kemajuan
lembaganya. Faktanya, setiap keahlian yang dimilikinya hanya berorientasi pada
nilai ekonomi semata. Sedangkan untuk kemajuan lembaganya hanya sebagian kecil
saja yang bisa disumbangkan. Hal ini tentunya menjadi tantangan bersama untuk
membenahi sistem kebijakan pola karir dan manajemen dalam pengembangan sumber
daya pustakawannya. Tuntutan itu adalah hal yang wajar, karena profesi
pustakawan ini masih dimarginal-kan, baik dari segi ekonomi (kesejahteraan),
keilmuan, maupun perhatian dari pemerintah. Secara kelembagaan, pengembangan
karir bagi pustakawan profesional ini harus direkonstruksi sebagai upaya
pembenahan diri profesinya yang lebih berkualitas.
Pustakawan sebagai profesi
semestinya memiliki keinginan tinggi meningkatkan produktivitas dan kinerjanya
untuk memberikan manfaat bagi yang membutuhkan. Keinginan yang tidak terlepas
dari kebutuhan dan harapan individu dimana dia bekerja. Oleh sebab itu perilaku
kompetisi dan profesionalisme ini menjadi salah satu cara untuk mencapai
keinginan tersebut.
Referensi:
1. Sri
Rumani. Kompetensi Pustakawan dan Teknologi Informasi untuk Meningkatkan
Kualitas Pelayanan di Perpustakaan Nasional, dalam Visi Pustaka Vol.10
No.3 – Desember 2008
2.
Tjahjono Widijanto. Sentralitas Kompetensi, Aplikasi Teknologi Informasi, dan
Strategis Holistik : Upaya Perpustakaan – Pustakawan Meningkatkan
Profesionalisme dan Kualitas Layanan di Era Globalisasi. dalam Visi
Pustaka Vol.10 No.3 – Desember 2008
Feb 25, '08 12:12 AM
untuk semuanya |
I. Pendahuluan
Profesi pustakawan mulai tumbuh pada
akhir abad ke 19. Dalam sejarah perkembangannya profesi ini mendapat kritikan
tajam dari para sosiolog yang meneliti masalah profesi. Sejumlah sosiolog
meragukan pustakawan sebagai profesi. Bahkan ada yang berpendapat bahwa
pustakawan tidak akan menjadi profesi penuh.
Kini profesi pustakawan telah diakui
sebagai profesi penuh. Lebih dari itu, profesi ini telah berkembang dengan
pesat seperti profesi lain. Ledakan informasi yang terjadi pertengahan kedua
abad ke 20, telah merubah stereotip pustakawan dari "book custodian"
menjadi "information Specialist" yang diperlukan oleh setiap bidang kehidupan
umat manusia. Akan tetapi, pustakawan masih bersifat pegawai suatu organisasi
atau lembaga, belum dapat menjanjikan layanan secara mandiri, seperti dokter,
atau pengacara.
Di Indonesia, profesi pustakawan
masih sering dilihat sebelah mata oleh sebagian masyarakat kita, bahkan oleh
kalangan terpelajar sekalipun. Masyarakat belum banyak memerlukan jasa layanan
perpustakaan yang ditawarkan pustakawan. Bahkan ada yang belum mengetahui
eksistensi profesi pustakawan.
Tampaknya profesi ini masih sering
dianggap lebih rendah dari profesi-profesi lain. Selain masyarakat yang belum
mengetahui eksistensi pustakawan, kadang kitapun masih menemukan pustakawan
yang enggan atau malu mengakui dirinya sebagai pustakawan.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh
para pustakawan ,diantaranya adalah merumuskan kode etik pustakawan,
menyelenggarakan seminar-seminar, lokakarya-lokakarya dll di dalam upaya
menyempurnakan prosedur penyelenggaraan perpustakaan dan meningkatkan
teknik-teknik pelayanan informasi. Namun mengapa keprofesionalan dan profesi
pustakawan masih kurang mendapat pengakuan yang wajar di masyarakat.
II. Profesi dan Profesionalisme
Para sosiolog berpendapat bahwa
profesi itu merupakan pekerjaan yang memenuhi persyaratan tertentu. Carr-Sander
(1933) dalam kuliahnya di Oxfort University berpendapat bahwa profesi mulai
berkembang pada masa revolusi industri. Revolusi ini telah menimbulkan berbagai
jenis pekerjaan baru – yang disebut sebagai profesi – yang diperlukan oleh
masyarakat yang harus dilaksanakan secara khusus. Ia mendefinisikan istilah
profesional dalam pengertian skill atau keterampilan dan latihan khusus,
bayaran, atau gaji minimum, pembentukan asosiasi profesional, dan adanya kode
etik yang mengatur praktek profesional.
Menurut Abraham Flexner, seperti
yang dikutip oleh Kleingartner (1967), suatu profesi paling tidak harus
memenuhi 6 persyaratan, sebagai berikut : (1) profesi itu merupakan pekerjaan
intelektual. Maksudnya menggunakan intelegensi yang bebas yang diterapkan pada
problem dengan tujuan untuk memahami dan menguasainya. (2) profesi merupakan
pekerjaan saintifik berdasarkan pengetahuan yang berasal dari sains. (3)
Profesi merupakan pekerjaan praktikal, artinya bukan melulu – teori – akademik
tetapi dapat diterapkan dan dipraktekkan. (4) Profesi terorganisir secara
sistematis. (5) Ada standar cara melaksanakannya dan mempunyai tolok ukur
hasilnya. (6) profesi merupakan pekerjaan altruisme yang berorientasi pada
masyarakat yang dilayaninya bukan kepada diri profesional.
Profesi merupakan jenis pekerjaan
tetap dan penuh. Artinya profesi merupakan pekerjaan yang layanannya diperlukan
oleh masyarakat atau menyelesaikan masalah yang mereka hadapi atau memenuhi
kebutuhan mereka secara terus menerus. Tanpa layanan tersebut anggota
masyarakat akan terganggu kehidupannya.
Orang yang melaksanakan profesinya
dengan mengikuti norma dan standar profesi disebut sebagai profesional.
Sedangkan istilah profesionalisme menunjukkan ide, aliran, isme yang bertujuan
mengembangkan profesi, agar profesi dilaksanakan oleh profesional dengan
mengacu kepada norma-norma, standar dan kode etik serta memberi layanan terbaik
kepada klien.
III. Pustakawan sebagai Profesi
Para ilmuwan sependapat bahwa suatu
profesi merupakan pekerjaan yang memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan
profesi tersebut antara lain sebagai berikut :
(1) Pengetahuan
dan keterampilan khusus.
Suatu profesi memerlukan pengetahuan
dan keterampilan khusus. Pengetahuan dan keterampilan ini tidak dimiliki oleh
orang awam, atau mereka yang berasal dari profesi lainnya. Pengetahuan dan
keterampilan khusus tersebut memberikan kompetensi kepada profesional untuk
melaksanakan tugasnya.
Dalam kode etik pustakawan
disebutkan bahwa pustakawan adalah seseorang yang melaksanakan kegiatan
perpustakaan dengan jalan memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan
tugas lembaga induknya berdasarkan ilmu pengetahuan, dokumentasi dan informasi
yang dimilikinya melalui pendidikan.
Profesi pustakawan telah memenuhi
ilmu pengetahuan. Seorang pustakawan profesional diisyaratkan mempunyai
pengetahuan khusus yang diperlukan untuk melaksanakan profesinya.
Seperti ilmu lainnya, ilmu
perpustakaan berkembang dari suatu seni menjadi sains. Objek ilmu perpustakaan
adalah mengenai bahan pustaka – dalam pengertian fisik dan isinya, metode
pengumpulan, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya kepada para pemakai jasa
perpustakaan untuk keperluan kehidupannya. Objek ilmu perpustakaan kemudian
dikembangkan sehingga juga meliputi identifikasi dan penyajian informasi,
perilaku pustakawan dan para pemakai jasa perpustakaan.
(2) Adanya
sebuah asosiasi atau organisasi keahlian.
Tenaga profesional berkumpul dalam
sebuah organisasi yang teratur dan benar-benar mewakili kepentingan profesi.
Dalam dunia pustakawan, dikenal organisasi bernama Library Association
(iInggris), American Library Association (AS), dan Ikatan Pustakawan Indonesia
(Indonesia).
(3) pendidikan
profesi
Struktur pendidikan pustakawan harus
jelas. Dalam hal ini organisasi pustakawan Amerika (ALA) lebih berhasil
daripada rekannya di Inggris atau Indonesia, sebab ALA berhak menentukan
kualifikasi pendidikan formal pustakawan. Bila di Inggris, LA hanya berhak
menyelenggarakan pendidikan pustakawan tingkat teknisi, maka di Amerika, ALA
berhak menentukan akreditasi sekolah perpustakaan. Dengan kata lain, ALA berhak
menentukan isi intelektual perkuliahan yang sesuai dengan ketentuan ALA. Bagi
sekolah perpustakaan yang belum mendapat akreditasi dari ALA maka lulusannya
akan memperoleh kesulitan bila mencari pekerjaan kerena persyaratan pekerjaan
lazimnya lulusan sekolah perpustakaan yang diakui ALA.
(4) Adanya
kode etik.
Kode etik adalah sistem norma
nilai-nilai atau aturan profesional yang secara tegas – biasanya tertulis –
menyatakan apa yang benar ddan apa yang baik. Jadi merupakan apa yang harus
dilakukan oleh seorang profesional dan apa yang harus dihindari.
Menurut Shelfer (1980) kode etik
profesional merupakan prinsip-prinsip dasar perilaku yang benar dan yang salah
dalam interaksi sosial umumnya dan masalah khusus dari profesi. Kode etik
merupakan pernyataan ideal, prinsip-prinsip dan standar perilaku profesional.
Prinsip-prinsip tersebut berbeda dengan prinsip-prinsip pribadi.
Tujuan kode etik adalah untuk
memastikan profesional akan memberikan layanan atau hasil kerja dengan kualitas
tertinggi dan paling baik untuk kliennya. Jadi untuk melindungi para pemakai
jasa dari perbuatan atau tindakan yang tidak profesional.
Di Indonesia, Ikatan Pustakawan
Indonesia telah menyusun kode etik profesi pustakawan. Namun kode etik tersebut
masih sangat sederhana. Kode etik tersebut belum menyinggung masalah prinsipil
bagi profesi pustakwan. Kote etik tersebut hanya mengemukakan kewajiban, namun
tidak mengemukakan hak pustakawan. Disamping itu juga tidak menyinggung masalah
esensi dari pada perpustakaan dan bahan pustaka, dua hal yang sangat esensial
bagi profesi pustakawan.
(5) Berorientasi
pada jasa.
Kepustakawanan berorientasi pada
jasa, dengan pengertian jasa perpustakaan dengan pembaca memerlukan pengetahuan
dan teknik khusus yang harus dimiliki pustakawan. Namun berbeda dengan profesi
lainnya, pustakawan tidak memungut imbalan dari pembaca dan pustakawan dapat
dihubungi setiap kali berada di perpustakaan dengan tidak memangang keadaan
pembaca.
(6) Adanya
tingkat kemandirian dan otoritas
Sebagai tenaga profesional maka
tenaga profesional harus mandiri, dalam arti bebas dari campur tangan pihak
luar. Pada kenyataannya kemandirian profesional sulit diterapkan, khususnya
profesi pustakawan. Semua perpustakaan merupakan lembaga atau organisasi yang
berbirokrasi. Akibatnya kemandirian pustakawan bersifat ganda dalam arti di
satu pihak dia dapat mandiri (umpamanya pustakawan bebas) namun di pihak lain
ia terikat pada pemerintah sehingga sering disebut adanya kesetiaan ganda. Pada
pustakawan yang bekerja di pihak swasta atau perpustakaan khusus, sifat
kemandirian lebih kurang terbatas dari pada pustakawan yang bekerja di kantor
pemerintah.
(7) Internship
Untuk menjamin kemampuan menerapkan
ilmunya, calon profesional diisyaratkan melaksanakan internship atau praktek
kerja waktu mengikuti pendidikan. Mereka disyaratkan melaksanakan internship
minimal suatu waktu tertentu. Dalam internship, mereka menerapkan teori yang
mereka pelajari di bangku kuliah dalam kegiatan profesi. Karena ilmu dan
teknologi terapannya berkembang, kebiasaan internship diteruskan ketika
profesional bekerja dalam bidangnya. Di sini para pustakawan mengadakan saling
kunjung ke perpustakaan-perpustakaan, mengikuti workshop unutk mempelajari
penemuan baru dan melaksanakan studi komparatif.
(8) Budaya
profesi
Budaya profesi adalah kebiasaan atau
tradisi, norma atau nilai dan simbol baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Kebiasaan atau tradisi adalah tata cara yang sudah dilaksanakan berulang-ulang.
Kebiasaan itu telah dirasakan manfaatnya oleh para profesi sehingga menjadi
norma atau nilai budaya. Nilai budaya profesi merupakan kepercayaan dasar,
suatu premise yang pasti yang menjadi dasar berpikir dan berperilaku
profesional.
(9) Perilaku
profesional
Perilaku profesional didasarkan pada
ilmu pengetahuan, kode etik serta budaya profesi. Faktor-faktor inilah yang
membuat orang profesional bertingkah laku tertentu. Tingkah laku ini sering
berlainan dengan tingkah laku orang awam atau anggota profesi lainnya.
Persepsi masyarakat mengenai
perilaku profesi sering ditentukan bukan saja seberapa jauh kebutuhan mereka
terlayani oleh profesional tapi juga ditentukan oleh perilaku profesional yang
nampak dari luar atau biasanya disebut penampilan. Istilah penampilan antara
lain terdiri dari cara berkomunikasi dengan klien cara berpakaian.
Pustakawan di Indonesia relatif
masih lemah dalam kedua hal ini. Masyarakat juga sering menstereotip profesi
pustakawan sebagai orang yang berkaca mata tebal, diam, tidak aktif dan tidak
dinamis.
(10) Standar
Standar berisi ketentuan-ketentuan,
norma, teknis untuk melaksanakan layanan profesi. Standar merupakan tolak ukur
yang dapat dipergunakan untuk mengukur, menguji dan mengevaluasi hasil layanan
profesi. Standar ini dilaksanakan secara konsisten.
Standar profesi meliputi semua aspek
layanan profesi. Dalam profesi kepustakawanan, standar itu antara lain berupa
standar layanan teknis, standar layanan pembaca, standar meubeler perpustakaan
dan standar kartu katalog.
(11) Klasifikasi
keprofesionalan
Pustakawan profesional dapat
digolongkan berdasarkan pendidikan dan berdasarkan kepangkatan . berdasarkan
tingkat pendidikannya, profesional dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Profesional
spesialis ------ S3 bidang ilmu perpustakaan atau ilmu informasi
2. Profesional
----------------- S2 bidang ilmu perpustakaan atau ilmu informasi
3. Para-profesional
----------- S1 & S0 bidang ilmu perpustakaan.
Klasifikasi kedua ialah berdasarkan
kepangkatan. Klasifikasi ini didasarkan pada pendidikan, kepangkatan dan karir
kerja dalam bidang perpustakaan. Contoh dari klasifikasi ini adalah jenjang
kepangkatan Jabatan Fungsional Pustakawan yang berdasar pada Keputusan Menteri
negara Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 33/1998 adalah sebagai berikut :
Jenjang Jabatan Pustakawan dari ayng
terendah sampai dengan tertinggi, yaitu :
a Asisten
pustakawan, terdiri atas
· Asisten
pustakawan pratama
· Asisten
pustakawan muda
· Asisten
pustakawan madya
b Pustakawan,
terdiri atas
· Pustakawan
pratama
· Pustakawan
Muda
· Pustakawan
madya
· Pustakawan
utama
Jenjang pangkat dan golongan ruang
Asisten Pustakawan sebagai mana tersebut diatas adalah sebagai berikut :
1. Asisten
pustakawan pratama
a Pengatur muda
tingkat 1 ----------Ã Golongan II/b
b Pengatur
------------------------------Ã Golongan II/c
c Pengatur
tingkat 1 -----------------Ã Golongan II/d
2. Asisten
pustakawan muda
a Penata
muda ----------------------Ã Golongan III/a
b Penata
muda tingkat 1 ---------Ã Golongan III/b
3. Asisten
pustakawan madya
a Penata
----------------------------Ã Golongan III/c
b Penata
Tingkat 1 --------------Ã Golongan III/d
Jenjang pangkat dan golongan ruang
pustakawan sebagai beirkut :
1. Pustakawan
Pratama terdiri dari :
a Penata
Muda -----------------------Ã Golongan III/a
b Penata
Muda Tingkat 1 ---------Ã Golongan III/b
2. Pustakawan
Muda terdiri dari :
a Penata
--------------------------------Ã Golongan III/c
b Penata
Tingkat 1 -------------------Ã Golongan III/d
3. Pustakawan
Madya terdiri dari :
a Pembina
------------------------------Ã Golongan IV/a
b Pembina
Tingkat 1 -----------------Ã Golongan IV/b
c Pembina
utama muda -------------Ã Golongan IV/c
4. Pustakawan
utama terdiri dari :
a Pembina
utama madya ------------Ã Golongan IV/d
b Pembina
utama ----------------------Ã Golongan IV/e
Klasifikasi ini hanya dapat
diterapkan di perpustakaan-perpustakaan yang merupakan bagian dari lembaga
negara. Penggolongan ini tidak dapat diterpkan di lembaga swasta karena sistem
kepangkatannya berbeda.
IV. Profesionalisme Tanggung Jawab Pustakawan
Pustakawan harus berupaya
meningkatkan status dan perannya di masyarakat dengan cara memberikan pelayanan
seoptimal mungkin. Pustakawan harus berani mengubah pola perilaku di dalam
memberikan pelayanan di bidang keahliannya.
Synder (1972) merekomendasikan
beberapa aktivitas yang dapat dilakukan oleh pustakawan sebagai usaha
pengembangan diri :
a Involvement
in professional organizations
b Familiarity
with current library literature
c Publication
d Part-time
teaching in a library school
e Research
f Continuing
education
g Bi-annual
self assesment
Aktivitas-aktivitas tersebtu diatas
pada intinya ditujukan untuk peningkatan diri yang merupakan hal mutlak yang
perlu dilakukan sebagai usaha memperluas wawasan baik pengetahuan, kemampuan
maupun keahlian. Selain itu juga mendapatkan adanya kedewasaan psikologis yaitu
kesiapan mental dalam menjalankan tugas. Melalui saling bertukar pengetahuan
dan pengalaman antar sesama anggota atau dengan pakar-pakar pada bidang kajian
tertentu melalui acara-acara yang diselenggarakan oleh organisasi tersebut,
baik non-formal maupun formal seperti seminar, lokakarya, dll.
Pustakawan harus memiliki reading
habit kerena perkembangan ilmu perpustakaan dapat diperoleh melalui literature.
Selain itu menulis, mengajar dan melakukan penelitian akan semakin meningkatkan
wawasan pustakawan tentang bidang ilmunya. Demikian juga dengan mengikuti
pendidikan lanjutan akan memungkinkan pustakawan menjadi ahli dalam satu bidang
tertentu. Dan yang tak kalah penting adalah selalu mawas diri, tidak cepat
merasa puas dan selalu ingin maju.
Berikut ini adalah upaya-upaya yang
dapat dilakukan untuk mengembangkan keprofesionalan pustakawan :
1. To
formulate and make known organizational goals and priorities, and establish the
organizational context within which each employee works.
Dengan mengetahui tujuan organisasi,
dan keahlian-keahlian yang diperlukan untuk mencapai tujuannya, maka pustakawan
daapt mengatur rencana pengembangan karir.
2. To
formulate and make known the human resource policies and practice of the
organization
3. To
encourage the development of professional knowlegde
Mendorong pustakawan untuk mengikuti
kegiatan seminar-seminar, dan lokakarya-lokakarya untuk meningkatkan
pengetahuan mereka, bahkan pendidikan lanjutan sekalipun sebagai usaha
peningkatan kualitas diri. Kesemuanya ini pada akhirnya akan merupakan
keuntungan organisasi, sebab memiliki staf yang handal.
4. To provide
opportunities for staff at all levels to develop the skills for effective
participation in advisory and decision-making committees
Memberikan kesempatan pada para
pustakawan di setiap level untuk mengembangkan keahlian menganalisa dan
memecahkan persoalan.
5. To provide
opportunities for staff at all levels to broaden their work experience
Memberikan kesempatan pada para
pustakawan untuk memperluas wawasan mereka dengan mengijinkan mereka bekerja
pada bagian-bagian lain sesuai dengan minat yang diatur secara bergantian.
6. To provide
assistance with career planning to meet both individual and organizational
Memberikan petunjuk pada para
pustakawan tentang jenjang karir yang dapat mereka raih dan cara meraihnya.
(Coffey, M. 1984:46-50)
V. Kondisi
profesi dan profesionalisme pustakawan di Indonesia
Seperti telah disinggung diatas, di
Indonesia profesi dan profesionalisme pustakawan belum menampakkan
eksistensinya. Akibatnya masyarakat menganggap rendah profesi pustakawan.
Ada dua faktor yang menyebabkan
rendahnya penghargaan masyarakat pada profesi ini :
1. Faktor
eksternal
- masyarakat
Kurangnya penghargaan masyarakat
pada informasi mengakibatkan kurangnya kebutuhan masyarakat akan jasa para
profesi informasi (information profesion) termasuk pustakawan, di dalam
kehidupannya. Atau dengan kata lain kebutuhan masyarakat akan layanan informasi
melalui lembaga-lembaga informasi relatif rendah.
2. Faktor
internal
- Pustakawan
Pelayanan informasi yang diberikan
pustakawan seringkali kurang dapat memenuhi kebutuhan pengguna. Kita masih
sering menjumpai staf perpustakaan yang mengecewakan user dalam layanannya.
Belum lagi tenaga-tenaga perpustakaan yang tingkat pendidikannya bervariasi.
Tingkat pendidikan ini akan mempengaruhi tingkat kemampuan (ability and skill)
dan wawasan tentang perpustakaan yang mereka miliki. Beragamnya tingkat
pendidikanpun akan membentuk pribadi-pribadi yang berbeda dalam rangka
performansi mereka di dunia perpustakaan.
- Lembaga/perpustakaan
Prinsip right man on the right place
belum diterapkan di perpustakaan. Banyak pustakawan yang berpendidikan tinggi
lebih suka duduk dibelakang meja dan membiarkan tenaga-tenaga kurang ahli
melayani pengguna perpustakaan. Misalnya kegiatan penelusuran literatur yang
membutuhkan kemampuan khusus serta wawasan yang luas mengenai kepustakaan.
- Bahan
pustaka
Koleksi yang disediakan perpustakaan
sudah out of date, sehingga pengguna kesulitan menemukan informasi yang aktual
dan sesuai dengan kebutuhannya.
Faktor-faktor internal inilah yang
memberikan image buruk terhadap profesi pustakawan dan berdampak pada
profesionalisme pustakawan. Keberhasilan suatu perpustakaan sangat bergantung
pada kemampuan pustakawan dalam mengelola dan mendayagunakan informasi yang
dimilikinya.
VI. Organisasi profesi pustakawan di Indonesia
Salah satu penunjang profesi dan
keprofesionalan pustakawan adalah adanya suatu organisasi profesi. Di Indonesia
terdapat beragam oraganisasi profesi yang sudah cukup bernama, antara lain IDI
(ikatan Dokter Indonesia), IDGI (Ikatan Dokter Gigi Indonesia). Sementara itu
nama IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia) belum terdengar gaungnya.
IPI sendiri lahir dari serangkaian
organisasi-organisasi profesi pustakawan yang hidupnya tidak bertahan lama.
Pada tahun 1912 mulai dirintis diskusi pustakawan di Batavia. Usaha ini baru
membawa hasil pada tahun 1916 dengan terbentuknya Vereeniging tot Bevordering
van het bibliotheekwezen di Batavia. Organisasi ini tidak bertahan lama. Pada
tahun 1949 berdiri Vereeniging van Bibliothecarisen van Indonesie. Namun
organisasi ini vakuum lagi hingga pada tahun 1954 berdiri Perkumpulan Ahli
perpustakaan Seluruh Indonesia (PAPSI). PAPSI kemudian berganti nama menjadi
Asosiasi Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi (APADI). Selanjutnya berdiri
Himpunan Pustakawan Chusus Indonesia atau HPCI.
Akhirnya pada tahun 1973 pada
Konggres Pustakawan se-Indonesia di Ciawi, terbentuklah IPI Ikatan Pustakawan
Indonesia yang bertahan hingga sekarang. Semenjak pembentukannya sampai
sekarang, IPI telah melaksanakan tujuh kali konggres. Selain rutin mengadakan
konggres, IPI mencatat beberapa hasil antara lain menyelenggarakan Conference
of Southeast Asia Librarians (CONSAL) V di Jakarta tahun 1975 dan CONSAL VIII
di Jakarta tahun 1990; bertambahnya perpustakaan umum di semua kotamadya dan
kabupaten; pengembangan perpustakaan desa di berbagai propinsi di Indonesia;
keluarnya keputusan bersama Mendikbud dan Menteri Koordinator/ketua Bapenas
mengenai jabatan fungsional pustakawan yang ditandatangani pada bulan Juli
1988.
Sulistyo-Basuki dalam bukunya
Pengantar Ilmu Perpustakan, menyebutkan berbagai kendala yang belum dapat
diatasi oleh IPI, antara lain :
1. Pencatatan
jumlah anggota IPI. Sebagai organisasi profesi IPI belum mengetahui secara
pasti berapa jumlah anggotanya. Hal ini tidak dialami oleh organisasi profesi
yang lebih maju seperti dokter, pengacara atau akuntan. Bahkan di Kenya,
pustakawan yang ingin bekerja harus terdaftar pada Ikatan Pustakawan Kenya.
2. Belum
adanya standar pendidikan pustakawan. Yang ada baru pembakuan kurikulum untuk
tingkat sarjana sementara untuk program pelatihan masih belum dibuat. Ini
penting mengingat Surat Keputusan Bersama mengatur pula tentang pendidikan dan
pelatihan pustakawan.
3. Belum
berfungsinya kantor Sekretariat Umum IPI sehingga roda organisasi, minimal
korespondensi belum berjalan sepenuhnya.
4. Keterikatan
organisasi pada badan birokrasi. Pemilihan ketua lebih dipertimbangkan pada
kemampuan calon ketua untuk menyediakan dana sehingga calon yang cukup berbobot
tanpa fasilitas cukup akan tersingkir sementara calon dengan fasilitas baik
lebih memiliki peluang untuk dipilih. Di daerah pemilihan ketua pengurus
wilayah lebih banyak terpaut pada perpustakaan wilayah sehingga pengurus daerah
identik dengan perpustakaan wilayah.
VII. Profil pustakawan ideal
Lokakarya Pengembangan Kurikulum
Pendidikan dan Pelatihan Perpustakaan di Indonesia yang diselenggarakan oleh
Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia, The British Counsil dan
Perpustakaan Nasional di jakarta pada tanggal 9-11 Agustus 1994, merumuskan
Profil Pustakawan Indonesia sebagai berikut :
a Aspek
Profesional
Pustakawan Indonesia berpendidikan
formal ilmu perpustakaan. Pustakawan juga dituntut gemar gemar membaca,
trampil, kreatif, cerdas, tanggap, berwawasan luas, berorientasi ke depan,
mampu menyerap ilmu lain, objektif (berorientasi pada data), generalis di satu
sisi, tetapi memerlukan disiplin ilmu tertentu di pihak lain, berwawasan
lingkungan, mentaati etika profesi pustakawan, mempunyai motivasi tinggi,
berkarya di bidang kepustakawanan, dan mampu melaksanakan penelitian serta
penyuluhan.
b Aspek
Kepribadian dan Perilaku
Pustakawan Indonesia harus bertaqwa
kepada Tuhan ayng Maha Esa, bermoral Pancasila, mempunyai tanggung jawab sosial
dan kesetiakawanan, memiliki etos kerja yang tinggi, mandiri, loyalitas tinggi
terhadap profesi, luwes, komunikatif dan bersikap suka melayani, ramah, dan
simpatik, terbuka terhadap kritik dan saran, selalu siaga dan tanggap terhadap
kemajuan dan perkembangan ilmu dan teknologi, berdisiplin tinggi dan menjunjung
tinggi etika pustakawan Indonesia.
Melihat dari kriteria yang
dihasilkan lokakarya, kelihatan tidak mudah untuk menjadikan seorang
pustakawan, banyak syarat yang harus dipenuhi. Tentu saja semakin banyak syarat
tersebut yang dikuasai seseorang maka ia akan menjadi pustakawan ideal.
Roberts (1992) yang dikutip
Soedarsono (1994) mengutip batasan pustakawan yang ideal antara lain :
" new professionals with
higt-tech skills, … user orirented; … they may have some subject affiliation; …
they will not be compartementalized, as in previous functional arrangements, or
fixated on one particular professional disipline, but flexible and
redoployable; … they will goog communicators; and … they will be enterpreneural"
(Thompson,1991 p.169)
1. Memiliki
keahlian subjek dan keterampilan
Adalah tidak mungkin bagi pustakawan
untuk melayani pemakainya, kalau ia tidak mengetahui subjek yang dilayaninya.
Meskipun tidak diketahui secara rinci, minimal secara umum. Untuk menjawab masuknya
teknologi ke perpustakaan, maka dituntut keterampilan pustakawan untuk
penggunaannya.
2. Berorientasi
kepada pemakai
Apapun yang dilakukan oleh
pustakawan, selalu berorientasi kepada pemakai. Pemakai adalah tujuan dari
layanan. Sudah saatnya perpustakaan mengadakan evaluasi seperti apa yang
dilakukan dalam dunia industri juga berorientasi kepada konsumen (pemakai)
misalnya dengan mengadakan Total Quality Control (TQC), Total Quality Services
(TQS), Total Quality Management(TQM) dalam pengelolaan perpustakaan.
3. Tidak
terkotak-kotak dalam jenis pekerjaan
Hal ini menuntut adanya perubahan
organisasi perpustakaan. Pustakawan bekerja dalam suatu tim yang kompak antara
satu sama lain dan profesional dalam bidangnya. Semua orang yang bekerja di
perpustakaan harus diibaratkan seperti "pemain sepak bola". Semua
penting dan menguasai bidangnya. Mulai dari petugas pada lapisan paling bawah
sampai pada tingkat pimpinan paling atas harus membawa misi yang sama yaitu
memberikan layanan yang baik.
4. Mahir
berkomunikasi
Seorang pustakawan pada hakekatnya
juga seorang komunikator. Ia harus pandai berkomunikasi dengan staf, pemakainya
dan administrator dimana ia berada. Kemampuan bahasa asing, terutama bahasa
igngris mutlak harus dimiliki. Rektor Universitas Indonesia dalam beberapa
kesempatan memberikan arahan bahwa untuk menghadapi tantangan ke depan masalah
SEK harus menjadi prioritas, yaitu sains, English dan Komputer. Di samping
penguasaan disiplin ilmu tertentu, harus didukung dengan kemampuan dan
keterampilan berbahasa asing dan menggunakan komputer.
5. Berjiwa
enterpreneur
Pustakawan sudah seharusnya dituntut
wiraswasta. Bagaimanapun koleksi perpustakaan adalah investasi yang mahal. Bila
tidak dimanfaatkan pemakai, maka sia-sialah dana yang diperuntukkan bagi
perpustakaan. Malahan katni Kamsono Kibat yang dikutip Zen (1992) mengatakan
bahwa pustakawan masa kini harus menjadi seorang mabajer, tidak hanya sebagai
pustakawan.
Rahardjo (1995) mengatakan bahwa
pustakawan seharusnya memiliki sifat mandiri, kreatif dan berkuslitas. Jika
tidak maka ia akan kalah dalam bersaing dimasa mendatang.
6. Mandiri
Pustakawan harus berani mengambil
keputusan, menanggung resiko dan tidak keanl putus asa untuk melakukan
terobosan dalam layanan. Ia harus dapat menyakinkan orang lain melalui
komunikasi yang baik. Melayani orang bukan lagi beban tetapi kebanggaan dan
kepuasan.
7. Kreatif
Dalam dunia persaingan, pemenangnya
ditentukan oleh kreatifitas. Siapa yang kreatif maka ialah pemenangnya.
Ibaratnya ia tidak lagi menunggu bola tetapi datang menjemput bola. Klau orang
tidak datang ke perpustakaan ia datang ke pemakainya, baik secara individu
maupun secara kelompok. Meskipun pada hakekatnya perpustakaan lebih banyak
memenuhi kebutuhan individu.
8. Berkualitas
Untuk dapat bekerja mandiri dan
kreatif juga ditentukan oleh kualitas. Kualitas seorang pustakawan sangat
ditentukan oleh latar belakang pendidikan, pengalaman dan kemauannya sendiri.
Seorang pustakawan, disamping memiliki ilmu perpustakaan, ia harus memiliki ilmu
yang dapat menjembatani kebutuhan pemakainya di satu pihak dengan penyajian
informasi dari berbagai koleksi pihak lain. Pustakawan umumnya mengetahui
caranya mencari informasi, tetapi tidak mengetahui keperluan informasi
tersebut. Sebaliknya pemakai memerlukan informasi tetapi tidak terampil mencari
dimana informasi tersebut berada. Disinilah letaknya jasa pustakwan
berkualitas.
VIII. Penutup
Pustakawan pada dasarnya adalah
profesi yang ada dalam masyarakat. Profesi pustakawan, sama halnya dengan
profesi-profesi lain membutuhkan profesionalisme dari individu-individu
tersebut. Tidak perlu berkecil hati, sebab walau bagaimanapun juga profesi ini
berhak berkembang seperti hanya profesi lain yang dianggap lebih bonafit. Semua
hal yang berkaitan dengan syarat profesi telah dipenuhi oleh profesi
pustakawan.
Image mengenai pustakawan, hanya
individu-individu sendiri yang mampu mengubahnya. Semua berpulang pada para
pemegang profesi ini, akankan kita jadikan profesi ini sebagai profesi yang
berkembang, jalan di tempat atau semakin tidak memiliki suara, hanya
pustakawanlah yang mampu menjawabnya.
(Diajukan pada pengajuan fungsional
pustakawan)
DAFTAR
PUSTAKA
Damayani, Ninis Agustini.
Profesionalisme Pustakawan : Tanggung Jawab Siapa. Makalah pada Seminar
Fakultas dalam ranggka hari jadi FIKOM yang ke XXXI, Bandung, 17 Desember 1991.
Bandung : Fakultas Ilmu Komunikasi UNPAD, 1991.
Ikatan Pustakawan Indonesia. Kiprah
Pustakawan, seperempat abad Ikatan Pustakawan Indonesia 1973-1998. Jakarta : PB
IPI, 1998
Perpustakaan Nasional RI. Jabatan
Fungsional pustakawan dan angka kreditnya. Jakarta : Perpustakaan Nasional RI,
1999.
Sulistyo – Basuki. Pengantar Ilmu
perpustakaan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,1991
PROFESIONALISME
PUSTAKAWAN
Oleh
Hendry
Gunawan dan Novita Vitriana
Pustakawan
Trampil UPT Perpustakaan Universitas Sriwijaya
Abstrak
Sumberdaya
manusia merupakan salah satu unsur yang penting dalam
organisasi,
karena SDM sangat menentukan arah dan kemajuan organisasi.
Pustakawan
sebagai SDM dalam perpustakaan harus bekerja secara
professional,
sesuai dengan profesionalisme pustakawan yang tercermin
pada
kemapuan (pengetahuan, pengalaman, keterampilan) dalam mengelola
dan
mengembangkan pelaksanaan pekerjaan di bidang kepustakawanan dan
kegiatan
lainnya secara mandiri. Profesionalisme pustakawan pun harus
terus
ditingkatkan jika perpustakaan ingin terus tumbuh dan berkembang
dalam
lingkungannya yang terus berubah.
Kata
Kunci : pustakawan, perpustakaan dan profesionalisme
PENDAHULUAN
Pustakawan,
sebuah kata yang sedang mengalami keretakan makna, melahirkan
multitafsir
dan beragam persepsi. Dalam konteks keindonesiaan, pemegang kunci jendela dunia
ini,
kini nasibnya tidak jauh dari para pembuka pintu lintasan kereta. Masyarakat
pun
memberikan
penghargaan kepada pustakawan lebih rendah dibanding kepada profesi lain
seperti
dokter,
pengacara, guru, peneliti, dan lain-lain. Pemerintah pun menghargai pustakawan
sama
halnya
dengan masyarakat umum. Dari semua jenis fungsional yang ada, pustakawan berada
pada
“kasta” yang paling rendah, tentu saja dengan tunjangan yang paling sedikit.
Padahal, yang
sebenarnya
secara teori diatas kertas pustakawan adalah seseorang yang melaksanakan
kegiatan
perpustakaan
dengan jalan memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan tugas
lembaga
induknya berdasarkan ilmu pengetahuan, dokumentasi dan informasi yang
dimilikinya
melalui
pendidikan. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1989: 713) disebutkan bahwa
pustakawan
adalah orang yang bergerak di bidang perpustakaan; ahli perpustakaan. Sedangkan
berdasarkan
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) Nomor
__
_
18,
tahun 1988 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya dan telah
direvisi
dengan
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 132 tahun 2002,
pustakawan
diartikan sebagai Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab,
wewenang
dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan
kepustakawanan
pada unit-unit perpustakaan, dokumentasi dan informasi instansi pemerintah
dan
atau unit tertentu lainnya. Definisi tersebut tentunya sangat mengecewakan bagi
tenaga
perpustakaan
yang bekerja di lembaga swasta. Batasan harus pegawai negeri sipil menutup
kemungkinan
bagi tenaga perpustakaan di lembaga non pemerintah untuk masuk menjadi
pustakawan.
Namun dengan adanya Undang-Undang tentang Perpustakaan No. 43 Tahun 2007
telah
menumbuhkan harapan baru bagi tenaga tenaga perpustakaan di lembaga swasta.
Dalam
Undang-Undang
tersebut dinyatakan bahwa pustakawan adalah seseorang yang memiliki
kompetensi
yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta
mempunyai
tugas dan tanggungjawab untuk melaksanakan pengelolaan fasilitas layanan
perpustakaan.
Kompetensi menjadi kata kunci dalam definisi tersebut karena siapapun dia, asal
memiliki
kompetensi dan bekerja di perpustakaan tanpa memandang perpustakaan negeri atau
swasta
dapat masuk menjadi pustakawan.
Kedudukan
pustakawan dalam perpustakaan adalah orang yang mengolah perpustakaan dan
orang
yang paling tahu dalam hal penelusuran dan kemauan para penelusur. Kemampuan
lain
pustakawan
adalah mengklasifikasi, pembagian nama domain untuk file, lokasi coding bahkan
sampai
bentuk format penyimpanan metadata. Pustakawan merupakan suatu profesi,
dikarenakan
pustakawan
merupakan pekerjaan yang memerlukan pendidikan atau pelatihan.
A.
Profesionalisme
Sumberdaya
manusia merupakan salah satu unsur yang penting dalam organisasi.
seperti
kita ketahui unsur-unsur organisasi yang dikenal dengan 6M tersebut adalah
Sumberdaya
Manusia (Man), Peralatan (Machine), bahan-bahan (Materials), biaya (Money),
metode
(Method), dan pasar (Market). SDM merupakan unsur yang paling penting. Hal ini
karena
SDM sangat menentukan arah dan kemajuan organisasi. Salah satu jenis SDM yang
ada
di Perpustakaan adalah Pustakawan selain tenaga-tenaga lain tentunya.
Pustakawan
diakui
sebagai suatu jabatan profesi dan sejajar dengan profesi-profesi lain seperti
profesi
__
_
peneliti,
guru, dosen, hakim, dokter, dan lain-lain. Profesi secara umum diartikan
sebagai
pekerjaan.
Dalam “Advanced English-Indonesian Dictionary” (1991: 658) profesi adalah
sebagai
suatu pekerjaan yang membutuhkan pendidikan khusus. Sementara itu
“Encyclopedia
of Social Science” (1992) memberikan batasan mengenai “Professions”
dilihat
dari ciri khasnya, yaitu pendidikan teknik intelektual yang diperoleh dari
pelatihan
khusus
yang dapat diterapkan pada beberapa suasana kehidupan sehari-hari, yang
memberikan
ciri pembeda satu profesi.
Menurut
Sulistyo-Basuki (1991: 148-150) ada beberapa ciri dari suatu profesi seperti
(1)
adanya sebuah asosiasi atau organisasi keahlian, (2) terdapat pola pendidikan
yang jelas,
(3)
adanya kode etik profesi, (4) berorientasi pada jasa, (5) adanya tingkat
kemandirian.
Menurut
Abraham Flexner yang dikutip Achmad (2001) dalam makalahnya
Profesionalisme
Pustakawan Di Era Global, seperti yang disampaikan
dalam Rapat Kerja
Pusat
XI IPI XI dan Seminar Ilmiah di Jakarta; tanggal 5-7 November 2001, profesi
paling
tidak
memiliki dan memenuhi 5 persyaratan sebagai berikut: 1) Profesi merupakan
pekerjaan
intelektual, maksudnya menggunakan intelegensi yang bebas yang diterapkan
pada
problem dengan tujuan untuk memahaminya dan menguasainya. 2) Profesi merupakan
pekerjaan
saintifik berdasarkan pengetahuan yang berasal dari sain. 3) Profesi merupakan
pekerjaan
praktikal, artinya bukan melulu teori akademik tetapi dapat diterapkan dan
dipraktekkan.
4) Profesi terorganisasi secara sistematik. Ada standar cara pelaksanaannya
dan
mempunyai tolok ukur hasilnya. 5) Profesi-profesi merupakan pekerjaan altruism
yang
berorientasi
kepada masyarakat yang dilayaninya bukan kepada diri profesionalisme.
Pustakawan
sebagai profesi juga harus memiliki beberapa keterampilan antara lain:
1.
Adaptability
Pustakawan
hendaknya cepat berubah menyesuaikan keadaan yang menantang. Sudah
saatnya
adaptif memanfaatkan teknologi informasi. Pustakawan dalam memberikan
informasi
tidak lagi bersandar pada buku teks dan jurnal di rak, tetapi dengan
memanfaatkan
internet
untuk mendapatkan informasi yang aktual bagi penggunanya.
__
_
2.
People Skills (Soft Skill)
Pustakawan
adalah mitra intelektual yang memberikan jasa kepada pengguna. Mereka harus
lihai
berkomunikasi baik lisan maupun tulisan dengan penggunanya. People Skills ini
dapat
dikembangkan
dengan membaca, mendengarkan kaset-kaset positif, berkenalan dengan
orang-orang
positif, bergabung dengan organisasi positif lain dan kemudian diaplikasikan
dalam
aktivitas sehari-hari.
3.
Berpikir Positif
Ketika
kita dihadapkan pada suatu pekerjaan yang cukup besar maka pada umumnya kita
berkata:
wah…..tidak mungkin; aduh…..sulit!!!! Pustakawan diharapkan menjadi seorang
pemenang
yaitu sebagai pemenang yang berpikiran positif sehingga jika dihadapkan pada
pekerjaan
besar seharusnya berkata: Yes, kami bisa.
3.
Personal Added Value
Pustakawan
harus mempunyai nilai tambah. Pustakawan tidak hanya lihai dalam
mengindeks,
mengkatalog, mengadakan bahan pustaka, dan pekerjaan rutin lainnya. Harus
ada
nilai tambah misalnya dapat mencarikan informasi yang rinci di internet dan
tahu
bagaimana
cara cepat mancari informasi tersebut di internet.
4.
Berwawasan Enterpreneurship (Kewirausahaan)
Informasi
adalah kekuatan, informasi adalah mahal. Maka seyogyanya pustakawan harus
sudah
mulai berwawasan enterpreneurship agar dalam perjalanan sejarahnya nanti dapat
bertahan.
Lebih-lebih di era otonomi, maka perpustakaan secara perlahan harus menjadi
income
generation unit. Memang sudah ada pustakawan
yang berwawasan bisnis, tapi masih
belum
semuanya. Paradigma lama bahwa perpustakaan hanya pemberi jasa yang notabene
tidak
ada uang harus segera ditinggalkan.
__
_
5.
Team Work-Sinergi
Di
dalam era global yang ditandai dengan ampuhnya internet dan membludaknya
informasi,
pustakawan seharusnya tidak lagi bekerja sendiri, mereka harus membentuk
team
work untuk bekerja sama mengolah informasi.
Mengutip
pendapat Sulistyo-Basuki dalam bukunya Pengantar Ilmu Perpustakaan, 1991:
147,
profesi merupakan sebuah pekerjaan yang memerlukan pengetahuan dan keterampilan
khusus
yang diperoleh dari teori dan bukan saja dari praktek, dan diuji dalam bentuk
ujian
dari
sebuah universitas atau lembaga yang berwenang serta memberikan hak pada orang
yang
bersangkutan untuk berhubungan dengan klien. Sedangkan profesionalisme
menunjukkan
ide, aliran, isme yang bertujuan mengembangkan profesi, agar profesi
dilaksanakan
oleh profesional dengan mengacu norma-norma, standar dan kode etik serta
memberikan
layanan yang terbaik kepada klien. Istilah profesionalisme biasanya dikaitkan
dengan
penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku dalam mengelola dan
melaksanakan
pekerjaan/tugas dalam bidang tertentu. Profesionalisme adalah rasa
kepemilikan
akan sesuatu, yang mana dari rasa ini ia benar-benar merasa bahwa sesuatu itu
harus
dijaga. Adapun profesionalisme pustakawan hanya dapat dimiliki oleh seorang
pustakawan
tingkat ahli/profesional atau pustakawan yang memiliki dasar pendidikan
untuk
pengangkatan pertama kali serendah-rendahnya Sarjana Perpustakaan, Dokumentasi
dan
Informasi atau Sarjana bidang lain yang disetarakan. Pustakawan profesional
menurut
Encarta
Dictionary, 2008 seperti yang dikutip Rusmana dalam Strategi Menuju
Pustakawan
Profesional, 2008 (http://www.scribd.com/doc/), “somebody very competent:
somebody
who shows a high degree of skill or competence”,
seorang pustakawan yang
memiliki
kompetensi dalam memberikan layanan informasi dalam berbagai format, sesuai
tuntutan
kebutuhan komunitas. Sedangkan profesionalisme pustakawan adalah pelaksanaan
kegiatan
perpustakaan yang didasarkan pada keahlian, rasa tanggung jawab dan
pengabdian,
adapun mutu dari hasil kerja yang dilakukan tidak akan dapat dihasilkan oleh
tenaga
yang bukan pustakawan, dikarenakan pustakawan yang memiliki jiwa
keprofesionalan
terhadap pekerjaannya akan selalu mengembangkan kemampuan dan
__
_
keahliannya
untuk memberikan hasil kerja yang lebih bermutu dan akan selalu
memberikan
sumbangan yang besar kepada masyarakat pengguna perpustakaan.
Profesionalisme
pustakawan tercermin pada kemampuan (pengetahuan, pengalaman,
keterampilan)
dalam mengelola dan mengembangkan pelaksanaan pekerjaan di bidang
kepustakawanan
serta kegiatan terkait lainnya secara mandiri. Kualitas hasil pekerjaan
inilah
yang akan menentukan profesionalisme mereka. Pustakawan profesional dituntut
menguasai
bidang ilmu kepustakawanan, memiliki keterampilan dalam melaksanakan
tugas/pekerjaan
kepustakawanan, melaksanakan tugas/pekerjaannya dengan motivasi yang
tinggi
yang dilandasi oleh sikap dan kepribadian yang menarik, demi mencapai kepuasan
pengguna.
Profesionalisme pustakawan harus terus ditingkatkan karena merupakan suatu
hal
yang amat penting dan harus dimiliki oleh para pustakawan jika perpustakaan
ingin
terus
tumbuh dan berkembang dalam lingkungannya yang terus berubah.
A.
Sikap Pustakawan
Seorang
pustakawan di era globalisasi seperti sekarang ini dituntut untuk bekerja
secara
profesional dan mampu berkomunikasi ke segenap lapisan masyarakat. Kalau perlu
pustakawan
harus beberapa langkah di depan pemakainya. Artinya, pengetahuan dan
strategi
akses informasi pustakawan harus lebih canggih dari pemakainya. Pustakawan
memiliki
berbagai sarana akses dan mengetahui berbagai sumber informasi serta strategi
untuk
mengetahui dan mendapatkannya. Ini hanya dapat dilakukan bila pustakawan selalu
mengembangkan
wawasan atau pendidikan, mengikuti pelatihan, studibanding dan share
informasi
sesama pustakawan dalam maupun luar negeri serta trampil menggunakan
sarana
teknologi informasi dan kemampuan komunikasi, terutama bahasa Inggris. Selain
melayani,
pengolahan, dan pengadaan, seorang pustakawan era globalisasi juga harus
mampu
memasarkan atau promosi kepada masyarakat, mampu mengikuti trend, dan
berkeloga
dalam jejaring antara pustakawan atau pengunjung seperti dikatakan oleh Tilke
dalam
Teguh Yudi (Pustakawan Indonesia dalam Era Globalisasi, http://libraryteguh.
blogspot.com/2009/) ciri-ciri pustakawan masa sekarang (globalisasi) yakni (1)
Kemampuan
untuk mengikuti tren perpustakaan, (2) Kemampuan untuk bekerja di
kolegial,
lingkungan jaringan untuk perpustakaan, (3) Menghargai pentingnya
__
_
pemasaran/PR
. Selanjutnya pustakawan selalu menjadi yang terdepan dalam penggunaan
teknologi,
menekankan perangkat tambahan bagi pengguna, dan bukan hanya teknologi
untuk
kepentingan teknologi, karena pustakawan memiliki kesempatan besar untuk
berbagi
informasi berharga dan bertindak sebagai pembela bagi kemajuan informasi dan
teknologi.
Sedangkan Stueart dan Moran (2002) mengatakan bahwa manajer informasi
atau
pustakawan dalam era informasi seharusnya memiliki 7 (tujuh) kemampuan, yaitu:
1. Technical
skill, yaitu seorang pustakawan harus memahami proses pekerjaan bawahan.
Adalah
tidak mungkin mensupervisi, apabila tidak memahami seluk beluk pekerjaan yang
disupervisi
tersebut.
2. Political
skill, seorang pustakawan harus memahami masalah sosial, lingkungan
organisasi
internal dan eksternal, memiliki wawasan luas.
3. Analytical
skills, seorang pustakawan harus memiliki kemampuan analisis yang baik
sehingga
dapat menjadi bagian dari agen perubahan.
4. Problem-solving
skills, seorang pustakawan harus memiliki kemampuan untuk
memecahkan
masalah yang dihadapi dengan cepat, tepat dan baik.
5. People
skills, seorang pustakawan harus memiliki kemampuan berkomunikasi yang
baik,
termasuk
komunikasi interpersonal, memahami dan peduli orang lain.
6. System
skills, seorang pustakawan harus memiliki kemampuan bekerja dalam
system dan
menggunakan
berbagai system jaringan dan komunikasi yang tersedia.
7. Business
skill, seorang pustakawan harus memiliki naluri bisnis dan semangat
entrepreneurship
yang baik. Koleksi yang ada merupakan asset yang harus dimanfaatkan
maksimal.
Selain
itu pustakawan juga harus mampu memenuhi tuntutan-tuntutan baru seperti sebagai
spesialis
informasi, memiliki pengetahuan mandalam tentang kelompok saran (pemakai)
karena
pengunjung
perpustakaan terus berubah, serta pustakawan harus mampu menciptakan dan
mengimplementasikan
perubahan dalam berbagai sector atau lini di perpustakaan.
_
_
Dan
untuk menjadi pustakawan ideal, ada beberapa persyaratan yang harus
dipenuhi,
yaitu sebagai berikut:
a.
Aspek profesional
Yaitu
berpendidikan formal ilmu pengetahuan. Selain itu dituntut gemar membaca,
terampil,
kreatif, cerdas, tanggap, berwawasan luas, berorientasi ke depan, mampu
menyerap
ilmu lain, obyektif (berorientasi pada data), tetapi memerlukan disiplin ilmu
tertentu
dipihak lain, berwawasan lingkungan, mentaati etika profesi pustakawan,
mempunyai
motivasi tinggi, berkarya di bidang kepustakawanan dan mampu
melaksanakan
penelitian serta penyuluhan.
b.
Aspek kepribadian dan perilaku
Pustakawan
Indonesia harus bertakwa kepada Tuhan YME, bermoral Pancasila,
mempunyai
tanggungjawab sosial dan kesetiakawanan, memiliki etos kerja yang tinggi,
mandiri,
loyalitas tinggi terhadap profesi, luwes, komunikasi dan sikap suka melayani,
ramah
dan simpatik, terbuka terhadap kritik dan saran, selalu siaga dan tanggap
terhadap
kemajuan
dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, berdisiplin tinggi dan
menjunjung
tinggi etika pustakawan Indonesia.
Tetapi
keterpurukan citra pustakawan dirusak oleh “pustakawan” sendiri. Pada saat ini
kita
sedang menyaksikan sebuah fenomena yang memilukan, yaitu para pengelola
perpustakaan
merasa malu atau minder mengenalkan dirinya sebagai pustakawan. Potret
buram
pustakawan dalam realitas keindonesiaan. Jika muncul sebuah pertanyaan:
kapasitas
apakah yang harus kita miliki untuk membangun citra pustakawan yang baik?
Jawaban
pertanyaan ini sebenarnya kembali kepada persoalan visi, misi, dan fungsi
pustakawan.
Secara umum kita dapat mengatakan yang diperlukan untuk membangun
citra
adalah kompetensi kepakaran kita yang dibentuk oleh dua hal yaitu hard skill
dan
soft
skill. Yang pertama lebih bersifat scientific achievement,
sedangkan yang kedua
bersifat
psychological achievement. Yang pertama berkenaan dengan penguasaan
teknis
dan
detail bidang kepustakawanan dan keperpustakaan, yang kedua berkaitan dengan
kemampuan
berpikir strategis sebagai perumus kebijakan, wawasan masa depan (forward
_
_
looking), dan kemampuan perencanaan strategis, kemampuan perencanaan
strategis,
kemampuan
manajerial, kemampuan komunikasi publik, dan lainnya.
Kalau
kita berkaca pada sejarah, disana kita akan menyaksikan pustakawan menjadi elit
politik
dalam struktur sosial. Kedudukannya disejajarkan dengan tokoh spiritual dan
para
pemegang
kebijakan, karena pada waktu itu memang perpustakaan hanya ada di dua
tempat
yaitu di istana (pusat kekuasaan) dan kuil atau tempat ibadah (pusat kekuatan
spiritual).
Dari segi kompetensi pun seorang pustakawan biasanya memiliki berbagai
macam
kecakapan (multitalenta) dan berbagai macam bahasa (polilinguish). Sebagai
contoh
kita lihat misalnya Jorge Luis Borges yang pernah mengatakan “I have
imagined
that
paradise will be a kind of library”. Ia
menjadi pustakawan dengan dilandasi oleh
keinsafan
bahwa menjadi pengelola perpustakaan merupakan panggilan jiwa bukan
sekedar
panggilan tugas untuk mencari nafkah. Satu lagi contoh, yang dekat dengan
kesejarahan
kita, adalah GP Rouffaer, ia adalah seorang pustakawan ahli pada lembaga
studi
kolonial (KITLV) yang menyusun Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie dan De
batikkunst
in Nederlandsch-Indie en haar geschidiedenis (Seni
Batik di Hindia Belanda
dan
Sejarahnya). Rouffaer juga dilibatkan oleh Alexander Idenburg, Menteri Urusan
Jajahan,
dalam penelitian tentang keadaan social, ekonomi, dan budaya masyarakat
pribumi
(Kompas, 8 Januari 2007).
Borguis
dan Rouffaer telah tiada dan mungkin hanya mereka berdualah
pustakawan
ideal yang ada dalam sejarah peradaban manusia. Akan tetapi bukan hal yang
mustahil
bahwa citra ideal tersebut menjadi sebuah inspirasi untuk memulai membangun
citra
pustakawan Indonesia.
PENUTUP
Sudah
saatnya kita mengurangi wacana untuk kemudian mengalihkan energi kita
lebih
banyak pada pengembangan kompetensi atau kapasitas internal kita. Sebab, itulah
tampaknya
yang menjadi persoalan kita, yaitu jarak antara kita, sebagai pustakawan hari
ini,
dengan model pustakawan ideal yang kita inginkan masih jauh, relatif jauh,
bahkan
___
_
sangat
jauh. Untuk itu ada beberapa hal yang bias kita lakukan, Pertama,
memperluas
wawasan
makro kita tentang persoalan bangsa. Yaitu dengan memperluas pengetahuan
teoritis
kita dalam bidang pendidikan, hsosial, dan perbukuan, yang kemudian
disempurnakan
dengan informasi yang luas dalam bidang-bidang tersebut. Baik melalui
sumber
sekunder seperti media massa, maupun sumber primer, yaitu para pelaku
langsung.
Ini mengharuskan kita punya jaringan komunikasi dan informasi yang luas,
mengharuskan
kita membaca lebih banyak, dan bergaul lebih luas. Kedua, meningkatkan
frekuensi
keterlibatan kita dalam dunia pendidikan, literasi dan social. Pustakawan harus
terlibat
dalam agenda-agenda besar nasional, mulai dari wacana sampai tataran aksi.
Contoh
tentang kemiskinan, pendidikan, buta aksara, minat baca, dan lain-lain.
Keterlibatan
itu dapat kita lakukan di tingkat wacana publik, asistensi kepada pemerintah
untuk
pengambilan keputusan atau perumusan kebijakan publik, maupun terlibat sebagai
pelaku
langsung. Ketiga, meningkatkan kemampuan kita mempengaruhi oprang lain.
Dunia
sekarang ini adalah dunia jaringan, dunia kerjasama, dunia aliansi dan koalisi.
Janganlah
pernah membayangkan bahwa kita akan berkembang dan bertahan sendirian.
Kita
hanya akan menjadi bagian dari sebuah jaringan global. Jadi, apa yang harus
kita
lakukan
adalah mengembangkan kemampuan kita mempengaruhi orang lain, memperkuat
jaringan
lobi ke berbagai kalangan dan membangun akses yang kuat ke para pengambil
keputusan
dan penentu kebijakan. Keempat, memperbanyak figur publik kita. Jangan
hanya
para pustakawan an sich yang dikenal masyarakat. Para pustakawan dalam
bidang
ekonomi,
politik, militer, dan teknologi kita juga harus dimunculkan. Artinya, harus ada
spesialisasi
di kalangan pustakawan. Pustakawan yang punya kemampuan intelektual
lebih
besar dapat diplot menjadi generalis yang dapat terlibat secara ilmiah dalam
banyak
bidang
pengetahuan. Tapi, sebagian besar kita harus punya satu spesialisasi yang
dengan
itu
ia kemudian dikenal masyarakat.
___
_
REFERENSI
Achmad.
(2001). Profesionalisme Pustakawan Di Era Global. Makalah disampaikan
dalam
Rapat
Kerja Pusat XI Ikatan Pustakawan Indonesia XI dan Seminar Ilmiah. Jakarta: 5-7
November
2001
Administrator.
(2009). Membangun Citra Pustakawan Indonesia.
http://www.bit.lipi.go.id/masyarakat-literasi/index.php/, diakses 21 Januari 2010
Depdiknas
RI. (1989). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. 2. Jakarta: Balai Pustaka
Ekaningsih,
Elisa. (2006). Upaya Meningkatkan Peran Pustakawan dalam Jasa Layanan
Informasi. http://library.usu.ac.id/, diakses 14 Desember 2009
Hernandono.
(2005). Meretas Kebuntuan Kepustakawanan Indonesia dilihat dari sisi Sumber
daya
tenaga Perpustakaan. Makalah disampaikan dalam
orasi ilmiah pengukuhan
Pustakawan
Utama. Jakarta: 2005
Rumpaka,
Edhi Heri. (2008). Profesi Bagi Pustakawan: Bagaimana Sebaiknya?.
http://rumpaka.staf.uajy.ac.id/artikelku/, diakses 20 Januari 2010
Rusmana,
Agus. (2008). Strategi Menuju Pustakawan Profesional.
http://www.scribd.com/doc/16912100/, diakses 20 Januari 2010
Salim,
Peter. (1991). Advanced English-Indonesian Dictionary. 3 rd Ed. Jakarta: Modern English
Press
Subrata,
Gatot. (2009). Upaya Pengembangan Kinerja Pustakawan Perguruan Tinggi Di Era
Globalisasi
Informasi. http://library.um.ac.id/, diakses 20 Januari 2010
Sulistyo-Basuki.
(1991). Pengantar Ilmu Perpustakaan. Cet. 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Yudi,
Teguh. (2009). Pustakawan Indonesia Di Era Globalisasi. http://libraryteguh.
blogspot.com/, diakses 20 Januari 2010
Meretas Kebuntuan Profesi Pustakawan Indonesia*)
A.
Pengantar
Profesi pustakawan sering menimbulkan polemik di tengah masyarakat, bahkan di kalangan pustakawan sendiri. Tak banyak orang yang mengenal dan mengetahui siapa itu pustakawan dan apa pekerjaannya. Masyarakat umumnya tahu bahwa di perpustakaan ada pekerja yang memberikan layanan informasi, namun seringkali mereka tidak tahu siapakah yang disebut pustakawan itu. Bahkan mendengar kata ‘pustakawan’ saja pun mungkin jarang. Hal ini mudah sekali diketahui. Tanyakanlah kepada masyarakat umum :”siapakah yang bekerja di perpustakaan?” Hampir dapat dipastikan, jawabannya adalah :”petugas perpustakaan, atau karyawan.” Atau coba tanyakan kepada anak-anak yang masih kecil :’kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?’ Seringkah atau pernahkah Anda mendengar ada anak yang menjawab :”aku mau jadi pustakawan!” Jawaban yang lazim terdengar adalah :”aku mau jadi dokter, pilot, pramugari, presiden, guru, artis.”
Profesi pustakawan sering menimbulkan polemik di tengah masyarakat, bahkan di kalangan pustakawan sendiri. Tak banyak orang yang mengenal dan mengetahui siapa itu pustakawan dan apa pekerjaannya. Masyarakat umumnya tahu bahwa di perpustakaan ada pekerja yang memberikan layanan informasi, namun seringkali mereka tidak tahu siapakah yang disebut pustakawan itu. Bahkan mendengar kata ‘pustakawan’ saja pun mungkin jarang. Hal ini mudah sekali diketahui. Tanyakanlah kepada masyarakat umum :”siapakah yang bekerja di perpustakaan?” Hampir dapat dipastikan, jawabannya adalah :”petugas perpustakaan, atau karyawan.” Atau coba tanyakan kepada anak-anak yang masih kecil :’kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?’ Seringkah atau pernahkah Anda mendengar ada anak yang menjawab :”aku mau jadi pustakawan!” Jawaban yang lazim terdengar adalah :”aku mau jadi dokter, pilot, pramugari, presiden, guru, artis.”
Menjadi pustakawan memang tidak
mudah. Selain tidak populer, pekerjaan ini juga ditengarai tidak menjamin
kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik. Berbeda jauh dari profesi dokter
misalnya. Seorang dokter, sekalipun sedang menganggur, tapi apresiasi
masyarakat terhadap profesinya tak pernah surut. Mendengar kata :’dia itu
dokter lho”, rasanya orang sudah hormat padanya. Artinya, status sosial seorang
dokter, sekalipun dalam kondisi tidak berpenghasilan, tetap lebih layak dan
lebih terhormat. Lalu jika dibandingkan dengan profesi guru pun, pustakawan
tetap kalah populer. Guru, sekalipun dianggap profesi yang tidak menjamin
kehidupan ekonomi yang lebih baik, tapi di mata masyarakat tetap memiliki kesan
tersendiri. Masyarakat hormat pada guru. Bahkan menyebutnya sebagai ’pahlawan
tanpa tanda jasa’. Banyak juga penghormatan simbolis yang ditujukan kepada
guru, seperti hari guru, lagu-lagu untuk guru, dan kata-kata mutiara tentang
guru. Pustakawan? Masih jarang terdengar hal-hal seperti itu.
Lalu, di mana sebetulnya letak
persoalannya? Mengapa profesi pustakawan tidak sepopuler profesi lain yang
notabene sama-sama memberikan layanan kepada masyarakat? Apa yang harus
dilakukan oleh pustakawan untuk mendapat pengakuan dari masyarakat bahwa mereka
eksis?
B. Profesi
Pustakawan
Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan, dsb.) tertentu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990 : 702).
Sedangkan profesional adalah hal-hal yang berkaitan dengan profesi ; memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya; mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya (lawan amatir).
Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan, dsb.) tertentu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990 : 702).
Sedangkan profesional adalah hal-hal yang berkaitan dengan profesi ; memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya; mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya (lawan amatir).
Pada awalnya pengertian
profesionalisme hanya dimonopoli oleh pekerjaan-pekerjaan yang menuntut adanya
kemandirian. Artinya tanpa bantuan pihak lain, pekerjaan itu bisa dilakukan
oleh seorang profesional. Dalam pengertian ini, maka profesionalisme sering
melekat pada diri dokter atau pengacara, karena mereka memiliki keahlian
tertentu dan menjalankan pekerjaannya sendiri, tanpa bantuan pihak lain. Para
dokter dan pengacara masing-masing membentuk organisasi profesional, yang
biasanya disebut disebut asosiasi. Tugasnya, selain untuk meningkatkan
kualiatas kerja, juga melakukan pengawasan terhadap kode etik profesi
masing-masing.
Bidang lain, seperti jurnalis
(wartawan), arsitek, akuntan, dalam perkembanganya juga mengembangkan visi
profesionalisme seperti yang terjadi pada profesi dokter dan
pengacara.Orang-orang di tiga profesi tersebut juga mengandaikan, bahwa mereka
bisa bekerja mandiri tanpa bantuan dan atau terikat dengan pihak lain. Mereka
membangun standarisasi kerja dan kode etik profesi melalui organisai asiosasi
yang dibentuknya.
Seiring dengan perkembangan zaman,
di mana masyarakat industri berkembang menjadi semakin kompleks, semakin sulit
pula diartikan apa yang disebut dengan pekerjaan mandiri. Demi efisiensi dan
efektivitas kerja, orang-orang profesional lebih memilih bekerja secara
berkelompok. Para pemilik modal mendirikan perusahaan-perusahaan yang
memperkerjakan kaum profesional. Dan dalam perkembangannya kemudian, para
pekerja profesional banyak yang bekerja pada perusahaan-perusahaan tersebut.
Menurut Sulistyo-Basuki (1991 : 147)
profesi merupakan sebuah pekerjaan yang memerlukan pengetahuan dan ketrampilan
khusus yang diperoleh dari teori dan bukan saja praktik, dan diuji dalam bentuk
ujian sebuah universitas atau lembaga yang berwewenang dan memberikan hak
kepada orang yang bersangkutan untuk berhubungan dengan klien atau nasabah.
Artinya, profesi harus dilandasi oleh jenjang pendidikan tinggi. Profesi tidak
diperoleh dari pengalaman.
Sudarsono (1991 : 1) menguraikan 4
hal penting mengenai profesi, yaitu :
(1) profesi yang ideal dicirikan dengan memberikan jasa yang amat penting bagi masyarakat
(2) pendidikan dijadikan landasan dalam pencapaian kesuksesan profesi
(3) karena pekerjaan memerlukan spesialisasi, masyarakat mengakui hak profesi untuk memberikan jasa, serta kekuasaan untuk menerima anggota baru dengan mengevaluasi serta mengatur penampilan kerja dan perilaku anggotanya,
(4) pekerjaan profesi mencakup pengambilan keputusan dan pemecahan soal yang harus didasarkan pada pengetahuan profesi serta kebutuhan masing-masing pemakai jasa.
(1) profesi yang ideal dicirikan dengan memberikan jasa yang amat penting bagi masyarakat
(2) pendidikan dijadikan landasan dalam pencapaian kesuksesan profesi
(3) karena pekerjaan memerlukan spesialisasi, masyarakat mengakui hak profesi untuk memberikan jasa, serta kekuasaan untuk menerima anggota baru dengan mengevaluasi serta mengatur penampilan kerja dan perilaku anggotanya,
(4) pekerjaan profesi mencakup pengambilan keputusan dan pemecahan soal yang harus didasarkan pada pengetahuan profesi serta kebutuhan masing-masing pemakai jasa.
Artinya : pekerjaan profesi menuntut
derajat otonomi perorangan yang tinggi, memiliki kode etik yang diakui dan
diterima oleh seluruh warganya. Profesi juga dapat dikatakan sebagai panggilan
bagi seseorang dan pekerjaan merupakan jalan hidupnya, serta secara
sungguh-sungguh memikirkan penampilan dan perkembangan profesinya. Profesi
berkaitan dengan pekerjaan profesional, artinya segala pekerjaan yang berkaitan
dengan atau merupakan bagian dari profesi (Sulistyo-Basuki, 1991 : 147).
Menurut Joseph (1991 : 19) pekerjaan
profesional memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1) Memiliki pengetahuan khusus yang diperoleh melalui pendidikan formal.
2) Memiliki hak otonomi, yaitu kebebasan untuk menentukan keputusan berdasarkan wewenang atau kepentingan yang dimiliki.
3) Memiliki komitmen yang tinggi dan berminat terus dalam mengembangkan profesi, sehingga ahli pada profesi yang digelutinya.
4) Memiliki tanggungjawab pada etika yang telah ditentukan profesi dalam menjalankan tugas.
5) Memiliki tanggungjawab untuk menjalankan dan mempertahankan standar profesi yang berlaku.
6) Memiliki kemampuan bersosialisasi dengan kelompok profesional lainnya.
1) Memiliki pengetahuan khusus yang diperoleh melalui pendidikan formal.
2) Memiliki hak otonomi, yaitu kebebasan untuk menentukan keputusan berdasarkan wewenang atau kepentingan yang dimiliki.
3) Memiliki komitmen yang tinggi dan berminat terus dalam mengembangkan profesi, sehingga ahli pada profesi yang digelutinya.
4) Memiliki tanggungjawab pada etika yang telah ditentukan profesi dalam menjalankan tugas.
5) Memiliki tanggungjawab untuk menjalankan dan mempertahankan standar profesi yang berlaku.
6) Memiliki kemampuan bersosialisasi dengan kelompok profesional lainnya.
Dari beberapa pernyataan di atas,
jelas bahwa profesi harus berlandaskan pada jenjang pendidikan formal dan
memiliki etika tertentu yang menjadi panduan dalam menjalankan profesi
tersebut.
Makna profesi berbeda dengan
pekerjaan. Menurut Howsan (dalam Wirawan, 1996 : 1) pekerjaan adalah setiap
aktivitas kerja yang menghasilkan imbalan atau tidak berimbalan, sedangkan
profesi adalah pekerjaan dalam arti khusus dan dengan persyaratan tertentu.
Profesi memerlukan beberapa syarat, yaitu :
(1) profesi merupakan jasa yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi masyarakat (kesejahteraan, kesehatan, keadilan, pendidikan dan sebagainya).
(2) profesi untuk melayani klien (pemakai), yaitu individu dan masyarakat, bukan untuk kepentingan diri profesional.
(3) untuk melaksanakan profesi diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi tertentu, bukan hanya sekedar ketrampilan dan pengalaman.
(1) profesi merupakan jasa yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi masyarakat (kesejahteraan, kesehatan, keadilan, pendidikan dan sebagainya).
(2) profesi untuk melayani klien (pemakai), yaitu individu dan masyarakat, bukan untuk kepentingan diri profesional.
(3) untuk melaksanakan profesi diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi tertentu, bukan hanya sekedar ketrampilan dan pengalaman.
Eksistensi tenaga profesional
pustakawan telah diakui pemerintah secara resmi dengan dikeluarkannya Surat
Keputusan Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara No.18/MENPAN/1988 tentang
Angka Kredit Bagi Jabatan Pustakawan. Para ahli atau pemerhati pustakawan pun
secara jelas mengakui eksistensi pustakawan sebagai suatu profesi.
Benge (1972 : 222) berpendapat bahwa
kepustkawanan adalah suatu kata benda yang berarti suatu profesi atau suatu
badan ilmu pengetahuan yang dapat dipelajari atau merupakan aplikasi ilmu
pengetahuan terhadap kegiatan praktis. Kegiatan yang tercakup dalam
kepustakawanan adalah :
(1) pengumpulan bahan pustaka
(2) pelestarian bahan pustaka
(3) pengorganisasian bahan pustaka
(4) penyebaran sumber informai yang dikandung bahan pustaka
(1) pengumpulan bahan pustaka
(2) pelestarian bahan pustaka
(3) pengorganisasian bahan pustaka
(4) penyebaran sumber informai yang dikandung bahan pustaka
Jika ditilik dari segi
kualifikasinya pustakawan dibagi menjadi pustakawan profesional,
semiprofesional, dan teknisi (Sulistyo-Basuki, 1991 : 151-203). Pustakawan
profesional adalah tenaga yang memiliki sertifikat atau diploma setingkat
diploma 2 dalam ilmu perpustakaan, sedangkan teknisi merupakan tenaga perpustakaan
yang berpendidikan SLTA ke bawah dengan pendidikan kepustakawanan satu tahun
atau kurang. Hal senada dinyatakan oleh Tjitropranoto (1995 : 29-30) yang
menggambarkan tenaga profesional pustakawan berdasarkan keahlian dan
ketrampilan dengan ciri sebagai berikut :
(1) mempunyai metodologi, teknik analisis, seta teknik dan prosedur kerja yang didasarkan pada disiplin ilmu pengetahuan dan atau pelatihan teknis tertentu dengan sertifikasi.
(2) memiliki etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi.
(3) dapat disusun dalam suatu jenjang jabatan berdasarkan : tingkat keahlian bagi jabatan fungsional keahlian, tingkat ketrampilan bagi jabatan fungsional ketrampilan.
(4) pelaksanaan tugas bersifat mandiri.
(5) jabatan fungsional tersebut diperlukan dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi.
(1) mempunyai metodologi, teknik analisis, seta teknik dan prosedur kerja yang didasarkan pada disiplin ilmu pengetahuan dan atau pelatihan teknis tertentu dengan sertifikasi.
(2) memiliki etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi.
(3) dapat disusun dalam suatu jenjang jabatan berdasarkan : tingkat keahlian bagi jabatan fungsional keahlian, tingkat ketrampilan bagi jabatan fungsional ketrampilan.
(4) pelaksanaan tugas bersifat mandiri.
(5) jabatan fungsional tersebut diperlukan dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi.
Menurut Kast (1990), pustakawan
termasuk jenis profesi yang mengandung unsur inklusif yaitu jasa profesi yang
secara langsung menyentuh semua lapisan masyarakat. Sama dengan dokter,
pustakawan berkewajiban melayani kebutuhan informasi semua masyarakat, tanpa
memandang status apapun.
Senada dengan itu, Sulistyo-Basuki
mendefinisikan profesi pustakawan mempunyai ciri sebagai berikut :
1) Adanya sebuah asosiasi atau organisasi keahlian.
2) Adanya struktur dan pola pendidikan yang jelas.
3) Adanya kode etik.
4) Adanya tingkat kemandirian.
5) Profesi pustakawan berorientasi pada jasa.
1) Adanya sebuah asosiasi atau organisasi keahlian.
2) Adanya struktur dan pola pendidikan yang jelas.
3) Adanya kode etik.
4) Adanya tingkat kemandirian.
5) Profesi pustakawan berorientasi pada jasa.
Maka dapat dikatakan bahwa profesi
pustakawan adalah suatu profesi yang menunjukkan tugas, tanggungjawab, wewenang
dan hak pustakawan didasarkan pada keahlian dan atau ketrampilan dalam
melaksanakan kegiatan perpustakaan, dokumentasi dan infomasi yang bersifat
mandiri.
Keahlian dan ketrampilan di bidang
perpustakaan atau kompetensi memadai yang dipersyaratkan di bidang perpustakaan
menandakan profesi pustakawan menempati posisi dalam kategori profesi yang
profesional. Menurut Steers (1991 : 180) aspek profesionalitas pustakawan tidak
berbeda dengan profesi lainnya dengan tolok ukur sebagai berikut :
(1) Ketrampilan, kemampuan dan pengetahuan. Ketrampilan mengacu pada kualitas penampilan dalam pelaksanaan aktivitas kerja. Kemampuan menunjukkan ketajaman berpikir dalam mengemas dan menyelesaikan pekerjaan dengan tepat. Pengetahuan berkaitan dengan wawasan di bidang perpustakaan serta bidang lainnya sebagai landasan terciptanya daya kreasi, gagasan atau prinsip-prinsip yang diperlukan dalam pekerjaan.
(2) Kedewasaan psikologis, berhubungan dengan kesiapan mental pustakawan dalam menghadapi tugas serta tanggungjawab atas hasil serta konsekuensi pekerjaannya, selalu bersikap terbuka dalam menerima masukan atau kritik yang konstruktif.
(1) Ketrampilan, kemampuan dan pengetahuan. Ketrampilan mengacu pada kualitas penampilan dalam pelaksanaan aktivitas kerja. Kemampuan menunjukkan ketajaman berpikir dalam mengemas dan menyelesaikan pekerjaan dengan tepat. Pengetahuan berkaitan dengan wawasan di bidang perpustakaan serta bidang lainnya sebagai landasan terciptanya daya kreasi, gagasan atau prinsip-prinsip yang diperlukan dalam pekerjaan.
(2) Kedewasaan psikologis, berhubungan dengan kesiapan mental pustakawan dalam menghadapi tugas serta tanggungjawab atas hasil serta konsekuensi pekerjaannya, selalu bersikap terbuka dalam menerima masukan atau kritik yang konstruktif.
Sosiolog terkenal Amerika, William
J. Goode (1996 : 152) berpendapat bahwa setiap pekerjaan berusaha berkembang
menjadi profesi. Akan tetapi pustakawan belum layak menjadi profesi dan tidak
akan pernah menjadi profesi karena pustakawan mempunyai kekuasaan yang sangat
lemah terhadap kliennya. Berkaitan dengan itu, Putu Pendit mengusulkan suatu
model kepustakawanan Indonesia dengan melihat kaitannya dengan nilai-nilai yang
dianut suatu masyarakat serta kemampuan masyarakat mengartikulasikan
nilai-nilai tersebut (Pendit, 1991 : 4).
Sebagai profesi, sebetulnya
kepustakawanan mempunyai fungsi tradisional dan fungsi sosial yang bertujuan
menopang kehidupan dan perkembangan masyarakat. Fungsi tradisional
kepustakawanan berupa fungsi yang melekat pada profesi tersebut yaitu
mengumpulkan, memroses, menyimpan dan memberikan layanan bahan pustaka kepada
pengguna. Sedangkan fungsi sosial kepustakawnaan ialah fungsi yang menopang
semua aspek kehidupan dan perkembangan masyarakat. Pada kenyataannya, khususnya
di Indonesia fungsi yang pertama lah yang lebih menonjol. Sedangkan fungsi ke
dua, yang justru mengandung filosofi kepustakawanan, masih jarang disentuh.
Atau bahkan belum dipahami pustakawan sendiri.
C. Mencari
Akar Permasalahan
Sejujurnya tidak banyak perubahan akan kondisi kepustakawanan Indonesia, sejak jaman orde baru. Posisi pustakawan sebagai elemen pelengkap di lembaga mana pun tidak banyak berubah ke arah yang lebih baik. Di Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, pustakawan ’hanyalah’ unsur pendukung. Di sisi lain, pustakawan sendiri seperti tidak perduli dengan eksistensinya. Tidak banyak pustakawan yang memikirkan persoalan-persoalan global dan mendasar di luar rutinitas masing-masing. Pustakawan lebih sibuk dan fokus dengan pekerjaan rutin mereka : memilih koleksi, mengolah koleksi, melayani pengguna, menyebarkan informasi. Hanya segelintir orang yang peduli dengan ’nasib’ pustakawan itu sendiri. Ironisnya, segelintir yang perduli inipun seringkali jusru bukan dari kalangan pustakawan, tapi dari kalangan pengamat perpustakaan atau praktisi di bidang lain yang sering bersentuhan dengan dunia kepustakawanan.
Sejujurnya tidak banyak perubahan akan kondisi kepustakawanan Indonesia, sejak jaman orde baru. Posisi pustakawan sebagai elemen pelengkap di lembaga mana pun tidak banyak berubah ke arah yang lebih baik. Di Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, pustakawan ’hanyalah’ unsur pendukung. Di sisi lain, pustakawan sendiri seperti tidak perduli dengan eksistensinya. Tidak banyak pustakawan yang memikirkan persoalan-persoalan global dan mendasar di luar rutinitas masing-masing. Pustakawan lebih sibuk dan fokus dengan pekerjaan rutin mereka : memilih koleksi, mengolah koleksi, melayani pengguna, menyebarkan informasi. Hanya segelintir orang yang peduli dengan ’nasib’ pustakawan itu sendiri. Ironisnya, segelintir yang perduli inipun seringkali jusru bukan dari kalangan pustakawan, tapi dari kalangan pengamat perpustakaan atau praktisi di bidang lain yang sering bersentuhan dengan dunia kepustakawanan.
Tentu tak dapat disalahkan seratus
persen jika pustakawan tidak memiliki fokus perhatian pada pengembangan profesi
mereka. Masalahnya, pengembangan profesi merupakan salah satu cara untuk
mempertahankan eksistensi suatu profesi. Lihat saja IDI (Ikatan Dokter
Indonesia). Asosiasi ini sangat aktif dalam mengembangkan profesionalisme
dokter. Mereka juga melakukan perlindungan terhadap para anggotanya dengan
berbagai cara. Mereka fokus menjaga kode etik dan mengembangkan visi
profesionalisme dokter melalui asosiasinya.
Dari berbagai literatur atau hasil
penelitian terhadap profesi pustakawan, serta melihat kondisi di lapangan,
penulis menganggap bahwa persoalan utama pustakawan ada pada diri pustakawan
sendiri. Banyak pustakawan tidak yakin dengan profesi yang diembannya. Bahkan
mungkin tidak memahami fungsi dan tanggungjawabnya. Rasa percaya diri
pustakawan, apalagi jika berhadapan dengan profesi lain, rendah! Itu pula
sebabnya, banyak pustakawan yang lebih suka menyebut dirinya “information
specialist’, “broker information”, “information provider”, dan sebagainya. Semua
upaya ini adalah dalam rangka menegakkan eksistensi pustakawan. Namun di sisi
lain, istilah-istilah tersebut justru menenggelamkan istilah ’pustakawan’ itu
sendiri.
Hal lain yang patut disorot adalah
kurangnya pemahaman masyarakat tentang tugas dan tanggungjawab seorang
pustakawan. Sangat lazim terdengar bahwa masyarakat menganggap pustakawan
adalah petugas yang bekerja di perpustakaan, melayani pengguna yang ingin
meminjam buku. Kenapa ini terjadi? Jawabannya cukup jelas : karena masyarakat
jarang melihat atau mengetahui pustakawan mengerjakan hal-hal lain di luar itu.
Bahkan dalam pelayanan sehari-hari pun jamak terdengar keluhan dari pengguna
:”petugas perpustakaannya tidak profesional!” Pertanyaannya adalah : siapa yang
paling bertanggungjawab?
Faktor berikutnya adalah kebijakan
yang tidak berpihak pada pustakawan, baik secara nasional maupun di lembaga.
Posisi pustakawan belum memungkinkan untuk memiliki bargaining position yang
kuat. Hal ini terlihat jelas dalam struktur organisasi di lembaga-lembaga
pendidikan atau instansi lain yang menempatkan pustakawan pada posisi di bawah
level manajer. Bahkan banyak lembaga yang tidak memunculkan pustakawan dalam
struktur organisasinya!
D.
Asosiasi Saja Tidak Cukup!
Pengembangan profesi memang efektif dilakukan melalui pembentukan asosiasi. Seperti halnya komunitas dokter, IDI sangat berperan dalam melanggengkan profesi dokter. Namun asosiasi saja tidaklah cukup. Berbicara tentang asosiasi, sesungguhnya berbicara tentang orang-orangnya juga. Sebuah asosiasi akan eksis jika orang-orangnya memiliki komitmen yang tinggi terhadap profesinya.
Pengembangan profesi memang efektif dilakukan melalui pembentukan asosiasi. Seperti halnya komunitas dokter, IDI sangat berperan dalam melanggengkan profesi dokter. Namun asosiasi saja tidaklah cukup. Berbicara tentang asosiasi, sesungguhnya berbicara tentang orang-orangnya juga. Sebuah asosiasi akan eksis jika orang-orangnya memiliki komitmen yang tinggi terhadap profesinya.
Saat ini, pustakawan Indonesia
memiliki banyak organisasi kepustakawanan. IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia),
ISIPII (Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia), hanyalah dua
contoh organisasi profesi pustakawan yang ada. Namun harus diakui bahwa ke dua
asosiasi tersebut belum berbuat banyak untuk pustakawan Indonesia. Carut marut
kepengurusan dan kurangnya komitmen pustakawan sendiri justru menjadi persoalan
utama. Di sisi lain, banyak pustakawan yang menaruh harapan pada asosiasi
tersebut. Tapi menaruh harapan saja takkan pernah menyelesaikan masalah, jika
tidak terlibat langsung mewujudkan harapan itu. Adalah mustahil jika hanya
menggantungkan harapan pada orang lain tanpa memiliki kontribusi untuk
mewujudkan harapan tersebut.
E. Apa
yang dapat dilakukan?
Sesungguhnya banyak hal yang dapat dilakukan oleh pustakawan Indonesia untuk memperkuat eksistensinya di tengah-tengah profesi lain. Beberapa hal mendasar yang perlu disadari adalah sebagai berikut :
Sesungguhnya banyak hal yang dapat dilakukan oleh pustakawan Indonesia untuk memperkuat eksistensinya di tengah-tengah profesi lain. Beberapa hal mendasar yang perlu disadari adalah sebagai berikut :
1) Visi kepustakawanan.
Setiap pustakawan idealnya memahami visi kepustakawanan Indonesia, sehingga dalam mengerjakan pekerjaannya, pustakawan yakin betul bahwa apa yang dilakukannya adalah untuk mencapai visi itu.
2) Fungsi sosial pustakawan.
Adalah keliru jika mengatakan pekerjaan pustakawan hanya berkaitan dengan hal-hal teknis. Fungsi sosial kepustakawanan sebagai fungsi yang menopang semua aspek kehidupan dan perkembangan masyarakat seharusnya menjadi fokus pengembangan pustakawan sehingga masyarakat dapat melihat langsung peran pustakawan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu pustakawan harus menyadari bahwa setiap komponen pekerjaan dan layanan yang ada di perpustakaan harus ditujukan untuk mendukung pencapaian kualitas hidup masyarakat yang lebih baik. Perpustakaan harus dapat menjadi tempat di mana tercipta pemelajar seumur hidup. Kompetensi yang dibutuhkan untuk ini berkaitan dengan pemahaman akan budaya dan nilai-nilai sosial masyarakat. Pustakawan adalah budayawan!
3) Sifat pekerjaan pustakawan.
Pekerjaan pustakawan tergolong pekerjaan altruisme, yaitu pekerjaan yang lebih mementingkan kepentingan orang lain. Sifat ini menuntut adanya ciri ’jiwa melayani’ pada pustakawan serta memiliki empati yang tinggi. Kompetensi yang dibutuhkan untuk ini menyangkut kemampuan berkomunikasi yang efektif, pengenalan berbagai karakter manusia dan komitmen yang tinggi untuk membantu orang lain.
Setiap pustakawan idealnya memahami visi kepustakawanan Indonesia, sehingga dalam mengerjakan pekerjaannya, pustakawan yakin betul bahwa apa yang dilakukannya adalah untuk mencapai visi itu.
2) Fungsi sosial pustakawan.
Adalah keliru jika mengatakan pekerjaan pustakawan hanya berkaitan dengan hal-hal teknis. Fungsi sosial kepustakawanan sebagai fungsi yang menopang semua aspek kehidupan dan perkembangan masyarakat seharusnya menjadi fokus pengembangan pustakawan sehingga masyarakat dapat melihat langsung peran pustakawan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu pustakawan harus menyadari bahwa setiap komponen pekerjaan dan layanan yang ada di perpustakaan harus ditujukan untuk mendukung pencapaian kualitas hidup masyarakat yang lebih baik. Perpustakaan harus dapat menjadi tempat di mana tercipta pemelajar seumur hidup. Kompetensi yang dibutuhkan untuk ini berkaitan dengan pemahaman akan budaya dan nilai-nilai sosial masyarakat. Pustakawan adalah budayawan!
3) Sifat pekerjaan pustakawan.
Pekerjaan pustakawan tergolong pekerjaan altruisme, yaitu pekerjaan yang lebih mementingkan kepentingan orang lain. Sifat ini menuntut adanya ciri ’jiwa melayani’ pada pustakawan serta memiliki empati yang tinggi. Kompetensi yang dibutuhkan untuk ini menyangkut kemampuan berkomunikasi yang efektif, pengenalan berbagai karakter manusia dan komitmen yang tinggi untuk membantu orang lain.
F.
Darimana Harus Diawali?
Ke tiga faktor di atas dapat diretas sejak dini di bangku sekolah atau kuliah, khususnya di program studi perpustakaan. Kurikulum di bidang perpustakaan harus diarahkan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki visi kepustakawanan Indonesia, memahami fungsi sosial dan sifat pekerjaan pustakawan. Saat ini, ke tiga hal ini justru baru disadari ketika pustakawan sudah hampir pensiun!
Ke tiga faktor di atas dapat diretas sejak dini di bangku sekolah atau kuliah, khususnya di program studi perpustakaan. Kurikulum di bidang perpustakaan harus diarahkan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki visi kepustakawanan Indonesia, memahami fungsi sosial dan sifat pekerjaan pustakawan. Saat ini, ke tiga hal ini justru baru disadari ketika pustakawan sudah hampir pensiun!
Selain melalui jalur pendidikan
formal, ke tiga aspek tersebut di atas juga dapat diberikan dalam materi
pelatihan atau program Pendidikan dan Pelatihan (DIKLAT) yang dikelola oleh
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). PNRI juga dapat mengembangkan
suatu program yang bersifat sustainable yang bertujuan membentuk pustakawan
yang memiliki visi, fungsi sosial dan sifat altruisme, misalnya melalui program
bimbingan langsung atau melalui buku-buku. Hal ini dapat dilakukan dengan
bekerjasama dengan asosiasi, lembaga pendidikan dan perpustakaan umum daerah.
G. Siapa
yang Harus Memulai?
Tanggungjawab kepustakawanan tetap ada pada pustakawan. Adalah tidak fair jika pustakawan hanya mengandalkan ’kebaikan’ pemerintah dalam mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapinya. Sejarah kepustakawanan memang tidak lepas dari kepentingan-kepentingan politis pemerintah, tapi bahwa kepustakawanan Indonesia tumbuh dan berakar di tengah-tengah masyarakat, adalah suatu kenyataan yang tidak perlu disangkal.
Tanggungjawab kepustakawanan tetap ada pada pustakawan. Adalah tidak fair jika pustakawan hanya mengandalkan ’kebaikan’ pemerintah dalam mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapinya. Sejarah kepustakawanan memang tidak lepas dari kepentingan-kepentingan politis pemerintah, tapi bahwa kepustakawanan Indonesia tumbuh dan berakar di tengah-tengah masyarakat, adalah suatu kenyataan yang tidak perlu disangkal.
Pengembangan kurikulum tentu menjadi
tanggungjawab lembaga pendidikan khususnya perguruan tinggi yang
menyelenggarakan pendidikan ilmu perpustakaan dan informasi. Di tengah-tengah
derasnya perkembangan ilmu, lembaga penyelenggara pendidikan ilmu perpustakaan
harus lebih proaktif dan peka terhadap tuntutan masyarakat. Bukan saatnya lagi
’sembunyi’ dari dunia luar dan berkutat di ruang-ruang kuliah, mencetak para
sarjana perpustakaan yang hanya mengerti cara mengkatalog koleksi! Kemampuan
teknis pustakawan tetap diperlukan, namun harus disadari bahwa dalam
kenyataannya ketrampilan tersebut dapat dilakukan orang lain dalam jangka waktu
relatif singkat. Lulusan sekolah perpustakaan harus memiliki keunggulan atau
kelebihan lain di luar katalogisasi.
Disamping lembaga pendidikan,
sesungguhnya PNRI menduduki posisi sangat strategis. Dengan dukungan dana dan
’power’ yang dimilikinya, PNRI dapat berbuat banyak untuk memperkuat eksistensi
pustakawan dalam kancah kepentingan nasional bangsa. Menjalin kerjasama dengan
departemen terkait, seperti Departemen Pendidikan Nasional, Departemen
Komunikasi dan Informatika, serta lembaga-lembaga lain, memungkinkan PNRI
membuka jalur hubungan komunikasi yang lebih intens dengan para pengambil
kebijakan. PNRI seharusnya tidak hanya berkutat dengan urusan-urusan atau
kegiatan-kegiatan bersifat rutin di perpustakaan, namun lebih fokus pada
pembentukan visi kepustakawanan dan pencapaiannya.
PNRI, harus membuka ’jalan’ bagi
asosiasi pustakawan dan para pustakawan untuk lebih mengembangkan diri. Membuka
program beasiswa pada pustakawan yang kompeten, atau memberikan insentif untuk
kegiatan yang bersifat kajian dan penelitian di bidang kepustakawanan, adalah
beberapa contoh kecil yang seharusnya dapat dilakukan oleh PNRI.
G. Penutup
Profesi pustakawan Indonesia hanya akan eksis jika dilakoni oleh sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang tepat. Di bidang apapun, kualitas SDM selalu menjadi penentu. Tak terkecuali pustakawan. Asosiasi pustakawan perlu mempertimbangkan jenjang pendidikan sebagai persyaratan menjadi seorang pustakawan. Asosiasi juga harus memberi peluang dan kesempatan bagi para generasi yang lebih muda untuk mengembangkan profesi kepustakawanan sesuai visi yang ditetapkan. Para pustakawan sendiri harus memiliki pemahaman mengenai kepustakawanan Indonesia dan perannya sebagai anggota profesi pustakawan. Satu hal yang tidak kalah penting adalah profesi atau asosiasi apapun, sangat penting menjalin hubungan dengan profesi atau asosiasi lain. Pustakawan misalnya, dapat menjalin hubungan baik dengan para ilmuwan, pengembangan teknologi perpustakaan dan kalangan pengguna. Demikian juga asosiasi.
Profesi pustakawan Indonesia hanya akan eksis jika dilakoni oleh sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang tepat. Di bidang apapun, kualitas SDM selalu menjadi penentu. Tak terkecuali pustakawan. Asosiasi pustakawan perlu mempertimbangkan jenjang pendidikan sebagai persyaratan menjadi seorang pustakawan. Asosiasi juga harus memberi peluang dan kesempatan bagi para generasi yang lebih muda untuk mengembangkan profesi kepustakawanan sesuai visi yang ditetapkan. Para pustakawan sendiri harus memiliki pemahaman mengenai kepustakawanan Indonesia dan perannya sebagai anggota profesi pustakawan. Satu hal yang tidak kalah penting adalah profesi atau asosiasi apapun, sangat penting menjalin hubungan dengan profesi atau asosiasi lain. Pustakawan misalnya, dapat menjalin hubungan baik dengan para ilmuwan, pengembangan teknologi perpustakaan dan kalangan pengguna. Demikian juga asosiasi.
Kiprah pustakawan Indonesia belum
terlihat nyata di tengah-tengah masyarakat, apalagi di dunia internasional.
Adalah tugas dan tanggungjawab semua pustakawan Indonesia untuk mengurai
kebuntuan yang dialami profesi pustakawan saat ini, sehingga di masa depan
pustakawan diakui sebagai salah satu komponen utama dalam pembentukan
masyarakat pemelajar seumur hidup. Semuanya kembali kepada pustakawan. Siapkah
Anda….?
**********
DAFTAR PUSTAKA
Benge, Ronald C. 1972. Libraries and
Cultural Change. USA : The Shoe String Press.
Goode, William J. 1996. The
Librarian : from Occupation to Profession : Teachers, Nurse, Social Worker. New
York : The Free Press.
Kast, Fremont E. 1990. Organisasi
dan Manajemen. Jakarta : Bumi Aksara.
Pendit, Putu Laxman. 1991. Kelompok
Profesional atau Gerombolan Tukang? Majalah Perpustakaan & Informasi, 1(1)
: 3-5.
Steers, Richard M. and Porter, Lyman
W. 1991. Motivation and Work Behavior. New York : McGraw-Hill.
Sudarsono, Blasius. 1994. Peran
Pustakawan dalam Pembangunan Nasional Indonesia. Majalah Ikatan Pustakawan
Indonesia. Vol. 16, Nomor 1-2.
Sulistyo-Basuki. 1991. Pengantar
Ilmu Perpustakaan. Jakarta : Gramedia.
Tjitropranoto, Prabowo. 1995.
Kriteria Sumber Daya Manusia di Perpustakaan. Jurnal Perpustakaan Pertanian.
Vol. IV (2).
Wirawan. 1996. Profesi Pustakawan
Indonesia dalam Era Globalisasi. Makalah pada Semiloka Perpustakaan Lembaga
Pendidikan Tinggi Swasta 11-14 Nopember 1996 di Jakarta.