Senin, 04 Februari 2013

Menumbuhkan Kompetensi dan Profesionalisme Pustakawan: Sebuah Catatan


Menumbuhkan Kompetensi dan Profesionalisme Pustakawan: Sebuah Catatan
Oleh: Wahid Nashihuddin,SIP.
1. Pendahuluan
Istilah kompetensi dan professional adalah dua modal yang harus dimiliki oleh setiap orang dalam menjalankan aktivitas profesisnya, baik itu pegawai negeri, pegawai swasta maupun para wira usahawan. Kompetensi berkaitan dengan bakat dan kemampuan seseorang dalam suatu profesi (pekerjaan) yang memiliki sifat interpersonal (alamiah). Misalnya ketika seseorang berkompeten di bidang perpustakaan, tentunya dia sudah memiliki bakat di dalam ilmu tersebut, misalnya membuat katalog, nomor klasifikasi, konsultan pustakawan, atau analis subjek. Pembelajaran dan pelatihan hanyalah ilmu untuk memperdalam kompetensi tersebut. Sedangkan profesionalisme lebih bersifat Institutional (bawaan), artinya bahwa professional itu ada ketika seseorang  itu memiliki keahlian untuk menguasai dan memahami bidang profesi yang sesuai dengan visi dan misi dari lembaganya. Tidak mungkin orang bekerja di lembaga Perpustakaan, keahliannya dalam bidang Pertanian. Meskipun orang itu ingin belajar Ilmu Perpustakaan sangat susah untuk memahami dan mengembangkannya. Karena profesionalisme adalah satu rangkaian profesi yang keahliannya disesuaikan dengan tujuan dan visi kegiatan dari lembaga tersebut.
Bagi pustakawan, semangat kompetensi dan profesionalisme adalah kebutuhan dasar yang harus dikuasai. Karena keduanya, adalah roda penggerak aktif dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dalam bidang kepustakawanaan yang objek dari kegiatannya meliputi sumber-sumber informasi dan pengetahuan yang tujuannya dilayankan langsung ke pengguna (masyarakat). Bagaimana Pustakawan bisa melayani kebutuhan masyarakat yang begitu sangat kompleks dan beragam, kalau tidak memiliki kompetensi dan profesionalisme yang tinggi dalam menyediakan sumber informasi, dan apa mungkin masyarakat dapat terlayani dengan baik? Listiani (2007:81) menyampaikan beragam pengguna memerlukan informasi yang berbeda, mengharuskan pustakawan meningkatkan kemampuan kompetensinya dengan menguasai tiga macam pengetahuan antara lain:
1.      Pengetahuan buku sumber informasi (bibliograpic control)
2.      Pengetahuan pemilihan media yang tepat (a sense media)
3.      Pengetahuan isi koleksi
Ketiga pengetahuan diatas menurut Bernard Vavrek (Listiani, 2004: 2) merupakan suatu sarana atau prasyarat untuk mencapai tujuan yang diinginkan yaitu menjembatani dunia pengetahuan dengan para pengguna perpustakaan. Kualitas pustakawan diukur dari pemahaman yang dimiliki mengenai visi dan misi, kemampuan menjabarkan program, kemampuan identifikasi kebutuhan pengguna, kemampuan memilih dan memilah berbagai jenis informasi aktual, kemampuan mengolah informasi secara sistematis sehingga mudah ditemukan serta kemampuan mengkomunikasikan sumber-sumber informasi yang dimiliki.
Meskipun Pustakawan hanya belajar yang sifatnya technical services, tak ada salahnya pula mempelajari disiplin ilmu lainnya. Pekerjaan teknis itu misalnya mengenai katalogisasi, klasifikasi, dan manajemen perpustakaan, disaat itu pula dia harus mencari pengetahuan dan pengalaman baru. Kompetensi ini diperlukan agar pustakawan bisa dan mampu memanfaatkan peluang dari setiap pekerjaan pokoknya. Ketika pustakawan membuat katalog dan nomor klasifikasi, ada ilmu lain yang bisa bermanfaat dan menunjang karir-nya, misalnya dia bisa mengetahui topik-topik dan bidang koleksi apa saja yang sudah disediakan perpustakaan, dan misalnya belum ada kita bisa mencari sumber referensi lain dari website digital lembaga perpustakaan lainnya. Terkait dengan keahlian yang dimiliki oleh pustakawan professional,  paling tidak seorang pustakawan harus menekuni dan mendalami salah satu bagian dari ilmu perpustakaan. Misalnya pustakawan yang ahli membuat Katalog dan klasifikasi tentunya dia harus memahami penggunaan pedoman LC (Library of Congres) atau DDC (Dewey Decimal Classification). Begitu juga kalau dia berminat menjadi konsultan pustakawan, tentunya harus sering membaca topic-topik dari bidang yang diminatinya. Meskipun secara teknis dan prakteknya kurang ahli, tapi dari segi pengetahuan dan manajemen dia ahli dan terampil memanfaatkannya.
2. Kompetensi Pustakawan
Kompetensi diartikan sebagai tolok ukur guna mengetahui sejauh mana kemampuan seseorang menggunakan pengetahuan dan kemampuannya. Ada dua jenis kompetensi yang diperlukan oleh pustakawan yaitu kompetensi profesional dan perorangan (Salmubi,2005). Kompetisi ini dibagi menjadi tiga kelompok yaitu Pertama, kompetisi sebagai mekanisme strategi. Kedua, kompetisi sebagai tindakan yaitu kontrol atas produksi dari pengetahuan produk yang dimiliki. Ketiga, kompetisi sebagai budaya yaitu cara atau perilaku yang dilakukan untuk merespon pengaruh sistem pasar.
Menurut Wendy Carlin (2001 : 67-68) ada dua cara utama dimana kompetisi bekerja. Pertama melalui insentif (incentives) harapan kemajuan dalam teknologi, organisasi dan upaya yang dilakukan perusahaan dengan memberikan tambahan penghasilan atau pengembangan kapasitas pustakawan. Kedua melalui seleksi (selection), melakukan ujian kompetensi pustakawan dalam periode tertentu.
Berbicara masalah kompetensi pustakawan di Indonesia sampai saat ini belum memiliki pedoman yang jelas untuk dijadikan acuan, baik itu indikatornya, ukurannya, sistemnya, maupun aturan mainnya bagaimana? Dan siapa saja pihak yang berwenang untuk menguji dan menilai kompetensi ini; Apakah pejabat fungsional Pustakawan yang ditunjuk, Perpustakaan Nasional, atau Lembaga lain yang berkompeten dan berkepentingan dibidang ilmu tersebut. Serta, pedoman mana yang akan digunakan, apakah UU Perpustakaan No.43 Tahun 2007, Keputusan MENPAN No. 132 Tahun 2002 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan, atau Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008.
Saat ini, para pustakawan di Perpustakaan Nasional sedang bekerja keras untuk membuat standar kompetensi ini, mengingat Perpustakaan Nasional sebagai pembina untuk semua pustakawan dan perpustakaan di Indonesia. Selain standar pustakawan, harus ada standar koleksi, sarana dan prasarana, pelayanan, penyelenggaraan dan pengelolaan. Tugas berat tetapi mulia ini yang telah diamatkan oleh UU No.43/2007 tentang perpustakaan, bahwa pustakawan harus memenuhi kualifikasi sesuai dengan standar nasional (pasal 11). Kalau profesi dosen dan guru sudah atau sedang dilakukan sertifikasi, dengan melakukan pemberkasan portofolio, bagitu juga halnya dengan Pustakawan untuk mengumpulkan angka kredit yang disesuaikan dengan besaran angka yang dibutuhkan harus dicapai dalam setiap jenjang golongan untuk mendapatkan kenaikan pangkat dan tunjangan profesi. Misalnya, Pustakawan golongan IIIa akan naik menjadi IIIb, maka si pustakawan harus mengumpulkan angka kredit sebesar 50 – 70 point, sesuaikan dengan persyaratan yang ditentukan.
Selain itu, Pustakawan juga harus berkompeten dalam penguasaan ICT. Hernandono (2005:4) mengatakan bahwa problem yang dihadapi oleh pustakawan madya dan utama adalah kurang menguasai bahasa asing dan kurang akrab dengan teknologi komunikasi dan informasi (ICT). Hal ini mengakibatkan pustakawan menjadi “kelompok marginal” dalam masyarakat informasi, karena komunikasi lebih sering memanfaatkan teknologi informasi. Intinya dalam masyarakat informasi ini pustakawan harus dapat menyesuaikan diri dan cepat tanggap dengan perubahan yang terjadi disekitarnya.
Berkaitan dengan aplikasi ICT ini, pustakawan perlu mempunyai standar kompetensi yang paling dasar, yakni: (1) memiliki kemampuan dalam penggunaan komputer (komputer literacy), (2) kemampuan menguasai basis data (data base), (3) kemampuan dan penguasaan peralatan TI, (4) kemampuan dalam penguasaan teknologi jaringan, (5) memiliki kemampuan dan penguasaan internet, serta (6) kemampuan dalam berbahasa Inggris..
Sebenarnya Masalah kompetensi ini tidak hanya menyangkut masalah penguasaan ICT dan Angka kredit semata, ada unsur lain yang wajib dilakukan pustakawan, misalnya aktif dalam organisasi Kepustakawanan, seperti IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia), FPSI (Forum Perpustakaan Sekolah Indonesia), ISIPII (Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia), dan organisasi pusdokinfo lainnya.
Di Indonesia, budaya kompetisi pustakawan masih sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari praktek pustakawan yang berlangsung hampir seluruh perpustakaan, hanya beberapa pesan saja yang membawa pengguna dari kesadaran (awareness) ke pembelian, belum pada pemuasan kebutuhan pengguna. Pustakawan masih sangat sederhana dan selalu mendasarkan diri hanya pada kepentingan pribadi, bahkan lupa bahwa perpustakaan sebagai sumber informasi. Misalnya sikap ketidakpeduliaan, berperilaku seenaknya, tidak berperan aktif dalam pendayagunaan informasi yang tersedia di perpustakaan. Penelitian Loehoer Widjajanto dkk (Listiani, 2004: 4) menemukan hanya 29% pustakawan yang melakukan penelusuran ke perpustakaan lain demi kepuasaan penggunanya.
3. Profesionalisme Pustakawan
Profesionalisme pustakawan mempunyai arti pelaksanaan kegiatan perpustakaan yang didasarkan pada keahlian dan rasa tanggungjawab sebagai pengelola perpustakaan. Keahlian menjadi faktor penentu dalam menghasilkan hasil kerja serta memecahkan masalah yang mungkin muncul. Sedangkan tanggungjawab merupakan proses kerja pustakawan yang tidak semata-mata bersifat rutinitas, tetapi senantiasa dibarengi dengan upaya kegiatan yang bermutu melalu prosedur kerja yang benar. Ciri-ciri profesionalisme seorang pustakawan dapat dilihat berdasarkan karakteristik-karakteristik sebagai berikut;
1.      memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, kecakapan dan keahlian yang mumpuni dalam bidangnya
2.      memiliki tingkat kemandirian yang tinggi
3.      memiliki kemampuan untuk berkolaborasi dan bekerja sama
4.      senantiasa berorientasi pada jasa dan menjunjung tinggi kode etik pustakawan
5.      senantiasa melihat ke depan atau berorientasi pada masa depan .
Profesionalisme dalam setiap pekerjaan pustakawan saat ini mutlak dibutuhkan , dengan memiliki cara kerja pelayanan dengan berprinsip pada people based service (berbasis pengguna) dan service excellence (layanan prima) yang hasilnya diharapkan dapat memenuhi kepuasan penggunanya. Dampak positifnya adalah peran pustakawan semakin diapresiasi oleh banyak kalangan dan citra lembaganya (perpustakaan) akan menjadi naik.
Ironinya, pustakawan masa kini, profesionalisme itu hanya untuk memperkaya diri dan bukan untuk kemajuan lembaganya. Faktanya, setiap keahlian yang dimilikinya hanya berorientasi pada nilai ekonomi semata. Sedangkan untuk kemajuan lembaganya hanya sebagian kecil saja yang bisa disumbangkan. Hal ini tentunya menjadi tantangan bersama untuk membenahi sistem kebijakan pola karir dan manajemen dalam pengembangan sumber daya pustakawannya. Tuntutan itu adalah hal yang wajar, karena profesi pustakawan ini masih dimarginal-kan, baik dari segi ekonomi (kesejahteraan), keilmuan, maupun perhatian dari pemerintah. Secara kelembagaan, pengembangan karir bagi pustakawan profesional ini harus direkonstruksi  sebagai upaya pembenahan diri profesinya yang lebih berkualitas.
Pustakawan sebagai profesi semestinya memiliki keinginan tinggi meningkatkan produktivitas dan kinerjanya untuk memberikan manfaat bagi yang membutuhkan. Keinginan yang tidak terlepas dari kebutuhan dan harapan individu dimana dia bekerja. Oleh sebab itu perilaku kompetisi dan profesionalisme ini menjadi salah satu cara untuk mencapai keinginan tersebut.
Referensi:
1.      Sri Rumani. Kompetensi Pustakawan dan Teknologi Informasi untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan di Perpustakaan Nasional, dalam Visi Pustaka Vol.10 No.3 – Desember 2008
2.      Tjahjono Widijanto. Sentralitas Kompetensi, Aplikasi Teknologi Informasi, dan Strategis Holistik : Upaya Perpustakaan – Pustakawan Meningkatkan Profesionalisme dan Kualitas Layanan di Era Globalisasi. dalam Visi Pustaka Vol.10 No.3 – Desember 2008



Feb 25, '08 12:12 AM
untuk semuanya
I. Pendahuluan
Profesi pustakawan mulai tumbuh pada akhir abad ke 19. Dalam sejarah perkembangannya profesi ini mendapat kritikan tajam dari para sosiolog yang meneliti masalah profesi. Sejumlah sosiolog meragukan pustakawan sebagai profesi. Bahkan ada yang berpendapat bahwa pustakawan tidak akan menjadi profesi penuh.
Kini profesi pustakawan telah diakui sebagai profesi penuh. Lebih dari itu, profesi ini telah berkembang dengan pesat seperti profesi lain. Ledakan informasi yang terjadi pertengahan kedua abad ke 20, telah merubah stereotip pustakawan dari "book custodian" menjadi "information Specialist" yang diperlukan oleh setiap bidang kehidupan umat manusia. Akan tetapi, pustakawan masih bersifat pegawai suatu organisasi atau lembaga, belum dapat menjanjikan layanan secara mandiri, seperti dokter, atau pengacara.
Di Indonesia, profesi pustakawan masih sering dilihat sebelah mata oleh sebagian masyarakat kita, bahkan oleh kalangan terpelajar sekalipun. Masyarakat belum banyak memerlukan jasa layanan perpustakaan yang ditawarkan pustakawan. Bahkan ada yang belum mengetahui eksistensi profesi pustakawan.
Tampaknya profesi ini masih sering dianggap lebih rendah dari profesi-profesi lain. Selain masyarakat yang belum mengetahui eksistensi pustakawan, kadang kitapun masih menemukan pustakawan yang enggan atau malu mengakui dirinya sebagai pustakawan.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh para pustakawan ,diantaranya adalah merumuskan kode etik pustakawan, menyelenggarakan seminar-seminar, lokakarya-lokakarya dll di dalam upaya menyempurnakan prosedur penyelenggaraan perpustakaan dan meningkatkan teknik-teknik pelayanan informasi. Namun mengapa keprofesionalan dan profesi pustakawan masih kurang mendapat pengakuan yang wajar di masyarakat.
II. Profesi dan Profesionalisme
Para sosiolog berpendapat bahwa profesi itu merupakan pekerjaan yang memenuhi persyaratan tertentu. Carr-Sander (1933) dalam kuliahnya di Oxfort University berpendapat bahwa profesi mulai berkembang pada masa revolusi industri. Revolusi ini telah menimbulkan berbagai jenis pekerjaan baru – yang disebut sebagai profesi – yang diperlukan oleh masyarakat yang harus dilaksanakan secara khusus. Ia mendefinisikan istilah profesional dalam pengertian skill atau keterampilan dan latihan khusus, bayaran, atau gaji minimum, pembentukan asosiasi profesional, dan adanya kode etik yang mengatur praktek profesional.
Menurut Abraham Flexner, seperti yang dikutip oleh Kleingartner (1967), suatu profesi paling tidak harus memenuhi 6 persyaratan, sebagai berikut : (1) profesi itu merupakan pekerjaan intelektual. Maksudnya menggunakan intelegensi yang bebas yang diterapkan pada problem dengan tujuan untuk memahami dan menguasainya. (2) profesi merupakan pekerjaan saintifik berdasarkan pengetahuan yang berasal dari sains. (3) Profesi merupakan pekerjaan praktikal, artinya bukan melulu – teori – akademik tetapi dapat diterapkan dan dipraktekkan. (4) Profesi terorganisir secara sistematis. (5) Ada standar cara melaksanakannya dan mempunyai tolok ukur hasilnya. (6) profesi merupakan pekerjaan altruisme yang berorientasi pada masyarakat yang dilayaninya bukan kepada diri profesional.
Profesi merupakan jenis pekerjaan tetap dan penuh. Artinya profesi merupakan pekerjaan yang layanannya diperlukan oleh masyarakat atau menyelesaikan masalah yang mereka hadapi atau memenuhi kebutuhan mereka secara terus menerus. Tanpa layanan tersebut anggota masyarakat akan terganggu kehidupannya.
Orang yang melaksanakan profesinya dengan mengikuti norma dan standar profesi disebut sebagai profesional. Sedangkan istilah profesionalisme menunjukkan ide, aliran, isme yang bertujuan mengembangkan profesi, agar profesi dilaksanakan oleh profesional dengan mengacu kepada norma-norma, standar dan kode etik serta memberi layanan terbaik kepada klien.
III. Pustakawan sebagai Profesi
Para ilmuwan sependapat bahwa suatu profesi merupakan pekerjaan yang memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan profesi tersebut antara lain sebagai berikut :
(1) Pengetahuan dan keterampilan khusus.
Suatu profesi memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus. Pengetahuan dan keterampilan ini tidak dimiliki oleh orang awam, atau mereka yang berasal dari profesi lainnya. Pengetahuan dan keterampilan khusus tersebut memberikan kompetensi kepada profesional untuk melaksanakan tugasnya.
Dalam kode etik pustakawan disebutkan bahwa pustakawan adalah seseorang yang melaksanakan kegiatan perpustakaan dengan jalan memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan tugas lembaga induknya berdasarkan ilmu pengetahuan, dokumentasi dan informasi yang dimilikinya melalui pendidikan.
Profesi pustakawan telah memenuhi ilmu pengetahuan. Seorang pustakawan profesional diisyaratkan mempunyai pengetahuan khusus yang diperlukan untuk melaksanakan profesinya.
Seperti ilmu lainnya, ilmu perpustakaan berkembang dari suatu seni menjadi sains. Objek ilmu perpustakaan adalah mengenai bahan pustaka – dalam pengertian fisik dan isinya, metode pengumpulan, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya kepada para pemakai jasa perpustakaan untuk keperluan kehidupannya. Objek ilmu perpustakaan kemudian dikembangkan sehingga juga meliputi identifikasi dan penyajian informasi, perilaku pustakawan dan para pemakai jasa perpustakaan.
(2) Adanya sebuah asosiasi atau organisasi keahlian.
Tenaga profesional berkumpul dalam sebuah organisasi yang teratur dan benar-benar mewakili kepentingan profesi. Dalam dunia pustakawan, dikenal organisasi bernama Library Association (iInggris), American Library Association (AS), dan Ikatan Pustakawan Indonesia (Indonesia).
(3) pendidikan profesi
Struktur pendidikan pustakawan harus jelas. Dalam hal ini organisasi pustakawan Amerika (ALA) lebih berhasil daripada rekannya di Inggris atau Indonesia, sebab ALA berhak menentukan kualifikasi pendidikan formal pustakawan. Bila di Inggris, LA hanya berhak menyelenggarakan pendidikan pustakawan tingkat teknisi, maka di Amerika, ALA berhak menentukan akreditasi sekolah perpustakaan. Dengan kata lain, ALA berhak menentukan isi intelektual perkuliahan yang sesuai dengan ketentuan ALA. Bagi sekolah perpustakaan yang belum mendapat akreditasi dari ALA maka lulusannya akan memperoleh kesulitan bila mencari pekerjaan kerena persyaratan pekerjaan lazimnya lulusan sekolah perpustakaan yang diakui ALA.
(4) Adanya kode etik.
Kode etik adalah sistem norma nilai-nilai atau aturan profesional yang secara tegas – biasanya tertulis – menyatakan apa yang benar ddan apa yang baik. Jadi merupakan apa yang harus dilakukan oleh seorang profesional dan apa yang harus dihindari.
Menurut Shelfer (1980) kode etik profesional merupakan prinsip-prinsip dasar perilaku yang benar dan yang salah dalam interaksi sosial umumnya dan masalah khusus dari profesi. Kode etik merupakan pernyataan ideal, prinsip-prinsip dan standar perilaku profesional. Prinsip-prinsip tersebut berbeda dengan prinsip-prinsip pribadi.
Tujuan kode etik adalah untuk memastikan profesional akan memberikan layanan atau hasil kerja dengan kualitas tertinggi dan paling baik untuk kliennya. Jadi untuk melindungi para pemakai jasa dari perbuatan atau tindakan yang tidak profesional.
Di Indonesia, Ikatan Pustakawan Indonesia telah menyusun kode etik profesi pustakawan. Namun kode etik tersebut masih sangat sederhana. Kode etik tersebut belum menyinggung masalah prinsipil bagi profesi pustakwan. Kote etik tersebut hanya mengemukakan kewajiban, namun tidak mengemukakan hak pustakawan. Disamping itu juga tidak menyinggung masalah esensi dari pada perpustakaan dan bahan pustaka, dua hal yang sangat esensial bagi profesi pustakawan.
(5) Berorientasi pada jasa.
Kepustakawanan berorientasi pada jasa, dengan pengertian jasa perpustakaan dengan pembaca memerlukan pengetahuan dan teknik khusus yang harus dimiliki pustakawan. Namun berbeda dengan profesi lainnya, pustakawan tidak memungut imbalan dari pembaca dan pustakawan dapat dihubungi setiap kali berada di perpustakaan dengan tidak memangang keadaan pembaca.
(6) Adanya tingkat kemandirian dan otoritas
Sebagai tenaga profesional maka tenaga profesional harus mandiri, dalam arti bebas dari campur tangan pihak luar. Pada kenyataannya kemandirian profesional sulit diterapkan, khususnya profesi pustakawan. Semua perpustakaan merupakan lembaga atau organisasi yang berbirokrasi. Akibatnya kemandirian pustakawan bersifat ganda dalam arti di satu pihak dia dapat mandiri (umpamanya pustakawan bebas) namun di pihak lain ia terikat pada pemerintah sehingga sering disebut adanya kesetiaan ganda. Pada pustakawan yang bekerja di pihak swasta atau perpustakaan khusus, sifat kemandirian lebih kurang terbatas dari pada pustakawan yang bekerja di kantor pemerintah.
(7) Internship
Untuk menjamin kemampuan menerapkan ilmunya, calon profesional diisyaratkan melaksanakan internship atau praktek kerja waktu mengikuti pendidikan. Mereka disyaratkan melaksanakan internship minimal suatu waktu tertentu. Dalam internship, mereka menerapkan teori yang mereka pelajari di bangku kuliah dalam kegiatan profesi. Karena ilmu dan teknologi terapannya berkembang, kebiasaan internship diteruskan ketika profesional bekerja dalam bidangnya. Di sini para pustakawan mengadakan saling kunjung ke perpustakaan-perpustakaan, mengikuti workshop unutk mempelajari penemuan baru dan melaksanakan studi komparatif.
(8) Budaya profesi
Budaya profesi adalah kebiasaan atau tradisi, norma atau nilai dan simbol baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Kebiasaan atau tradisi adalah tata cara yang sudah dilaksanakan berulang-ulang. Kebiasaan itu telah dirasakan manfaatnya oleh para profesi sehingga menjadi norma atau nilai budaya. Nilai budaya profesi merupakan kepercayaan dasar, suatu premise yang pasti yang menjadi dasar berpikir dan berperilaku profesional.
(9) Perilaku profesional
Perilaku profesional didasarkan pada ilmu pengetahuan, kode etik serta budaya profesi. Faktor-faktor inilah yang membuat orang profesional bertingkah laku tertentu. Tingkah laku ini sering berlainan dengan tingkah laku orang awam atau anggota profesi lainnya.
Persepsi masyarakat mengenai perilaku profesi sering ditentukan bukan saja seberapa jauh kebutuhan mereka terlayani oleh profesional tapi juga ditentukan oleh perilaku profesional yang nampak dari luar atau biasanya disebut penampilan. Istilah penampilan antara lain terdiri dari cara berkomunikasi dengan klien cara berpakaian.
Pustakawan di Indonesia relatif masih lemah dalam kedua hal ini. Masyarakat juga sering menstereotip profesi pustakawan sebagai orang yang berkaca mata tebal, diam, tidak aktif dan tidak dinamis.
(10) Standar
Standar berisi ketentuan-ketentuan, norma, teknis untuk melaksanakan layanan profesi. Standar merupakan tolak ukur yang dapat dipergunakan untuk mengukur, menguji dan mengevaluasi hasil layanan profesi. Standar ini dilaksanakan secara konsisten.
Standar profesi meliputi semua aspek layanan profesi. Dalam profesi kepustakawanan, standar itu antara lain berupa standar layanan teknis, standar layanan pembaca, standar meubeler perpustakaan dan standar kartu katalog.
(11) Klasifikasi keprofesionalan
Pustakawan profesional dapat digolongkan berdasarkan pendidikan dan berdasarkan kepangkatan . berdasarkan tingkat pendidikannya, profesional dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Profesional spesialis ------ S3 bidang ilmu perpustakaan atau ilmu informasi
2. Profesional ----------------- S2 bidang ilmu perpustakaan atau ilmu informasi
3. Para-profesional ----------- S1 & S0 bidang ilmu perpustakaan.
Klasifikasi kedua ialah berdasarkan kepangkatan. Klasifikasi ini didasarkan pada pendidikan, kepangkatan dan karir kerja dalam bidang perpustakaan. Contoh dari klasifikasi ini adalah jenjang kepangkatan Jabatan Fungsional Pustakawan yang berdasar pada Keputusan Menteri negara Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 33/1998 adalah sebagai berikut :
Jenjang Jabatan Pustakawan dari ayng terendah sampai dengan tertinggi, yaitu :
a Asisten pustakawan, terdiri atas
· Asisten pustakawan pratama
· Asisten pustakawan muda
· Asisten pustakawan madya
b Pustakawan, terdiri atas
· Pustakawan pratama
· Pustakawan Muda
· Pustakawan madya
· Pustakawan utama
Jenjang pangkat dan golongan ruang Asisten Pustakawan sebagai mana tersebut diatas adalah sebagai berikut :
1. Asisten pustakawan pratama
a Pengatur muda tingkat 1 ----------à Golongan II/b
b Pengatur ------------------------------à Golongan II/c
c Pengatur tingkat 1 -----------------à Golongan II/d
2. Asisten pustakawan muda
a Penata muda ----------------------à Golongan III/a
b Penata muda tingkat 1 ---------à Golongan III/b
3. Asisten pustakawan madya
a Penata ----------------------------à Golongan III/c
b Penata Tingkat 1 --------------à Golongan III/d
Jenjang pangkat dan golongan ruang pustakawan sebagai beirkut :
1. Pustakawan Pratama terdiri dari :
a Penata Muda -----------------------à Golongan III/a
b Penata Muda Tingkat 1 ---------à Golongan III/b
2. Pustakawan Muda terdiri dari :
a Penata --------------------------------à Golongan III/c
b Penata Tingkat 1 -------------------à Golongan III/d
3. Pustakawan Madya terdiri dari :
a Pembina ------------------------------à Golongan IV/a
b Pembina Tingkat 1 -----------------à Golongan IV/b
c Pembina utama muda -------------à Golongan IV/c
4. Pustakawan utama terdiri dari :
a Pembina utama madya ------------à Golongan IV/d
b Pembina utama ----------------------à Golongan IV/e
Klasifikasi ini hanya dapat diterapkan di perpustakaan-perpustakaan yang merupakan bagian dari lembaga negara. Penggolongan ini tidak dapat diterpkan di lembaga swasta karena sistem kepangkatannya berbeda.
IV. Profesionalisme Tanggung Jawab Pustakawan
Pustakawan harus berupaya meningkatkan status dan perannya di masyarakat dengan cara memberikan pelayanan seoptimal mungkin. Pustakawan harus berani mengubah pola perilaku di dalam memberikan pelayanan di bidang keahliannya.
Synder (1972) merekomendasikan beberapa aktivitas yang dapat dilakukan oleh pustakawan sebagai usaha pengembangan diri :
a Involvement in professional organizations
b Familiarity with current library literature
c Publication
d Part-time teaching in a library school
e Research
f Continuing education
g Bi-annual self assesment
Aktivitas-aktivitas tersebtu diatas pada intinya ditujukan untuk peningkatan diri yang merupakan hal mutlak yang perlu dilakukan sebagai usaha memperluas wawasan baik pengetahuan, kemampuan maupun keahlian. Selain itu juga mendapatkan adanya kedewasaan psikologis yaitu kesiapan mental dalam menjalankan tugas. Melalui saling bertukar pengetahuan dan pengalaman antar sesama anggota atau dengan pakar-pakar pada bidang kajian tertentu melalui acara-acara yang diselenggarakan oleh organisasi tersebut, baik non-formal maupun formal seperti seminar, lokakarya, dll.
Pustakawan harus memiliki reading habit kerena perkembangan ilmu perpustakaan dapat diperoleh melalui literature. Selain itu menulis, mengajar dan melakukan penelitian akan semakin meningkatkan wawasan pustakawan tentang bidang ilmunya. Demikian juga dengan mengikuti pendidikan lanjutan akan memungkinkan pustakawan menjadi ahli dalam satu bidang tertentu. Dan yang tak kalah penting adalah selalu mawas diri, tidak cepat merasa puas dan selalu ingin maju.
Berikut ini adalah upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan keprofesionalan pustakawan :
1. To formulate and make known organizational goals and priorities, and establish the organizational context within which each employee works.
Dengan mengetahui tujuan organisasi, dan keahlian-keahlian yang diperlukan untuk mencapai tujuannya, maka pustakawan daapt mengatur rencana pengembangan karir.
2. To formulate and make known the human resource policies and practice of the organization
3. To encourage the development of professional knowlegde
Mendorong pustakawan untuk mengikuti kegiatan seminar-seminar, dan lokakarya-lokakarya untuk meningkatkan pengetahuan mereka, bahkan pendidikan lanjutan sekalipun sebagai usaha peningkatan kualitas diri. Kesemuanya ini pada akhirnya akan merupakan keuntungan organisasi, sebab memiliki staf yang handal.
4. To provide opportunities for staff at all levels to develop the skills for effective participation in advisory and decision-making committees
Memberikan kesempatan pada para pustakawan di setiap level untuk mengembangkan keahlian menganalisa dan memecahkan persoalan.
5. To provide opportunities for staff at all levels to broaden their work experience
Memberikan kesempatan pada para pustakawan untuk memperluas wawasan mereka dengan mengijinkan mereka bekerja pada bagian-bagian lain sesuai dengan minat yang diatur secara bergantian.
6. To provide assistance with career planning to meet both individual and organizational
Memberikan petunjuk pada para pustakawan tentang jenjang karir yang dapat mereka raih dan cara meraihnya. (Coffey, M. 1984:46-50)
V. Kondisi profesi dan profesionalisme pustakawan di Indonesia
Seperti telah disinggung diatas, di Indonesia profesi dan profesionalisme pustakawan belum menampakkan eksistensinya. Akibatnya masyarakat menganggap rendah profesi pustakawan.
Ada dua faktor yang menyebabkan rendahnya penghargaan masyarakat pada profesi ini :
1. Faktor eksternal
- masyarakat
Kurangnya penghargaan masyarakat pada informasi mengakibatkan kurangnya kebutuhan masyarakat akan jasa para profesi informasi (information profesion) termasuk pustakawan, di dalam kehidupannya. Atau dengan kata lain kebutuhan masyarakat akan layanan informasi melalui lembaga-lembaga informasi relatif rendah.
2. Faktor internal
- Pustakawan
Pelayanan informasi yang diberikan pustakawan seringkali kurang dapat memenuhi kebutuhan pengguna. Kita masih sering menjumpai staf perpustakaan yang mengecewakan user dalam layanannya. Belum lagi tenaga-tenaga perpustakaan yang tingkat pendidikannya bervariasi. Tingkat pendidikan ini akan mempengaruhi tingkat kemampuan (ability and skill) dan wawasan tentang perpustakaan yang mereka miliki. Beragamnya tingkat pendidikanpun akan membentuk pribadi-pribadi yang berbeda dalam rangka performansi mereka di dunia perpustakaan.
- Lembaga/perpustakaan
Prinsip right man on the right place belum diterapkan di perpustakaan. Banyak pustakawan yang berpendidikan tinggi lebih suka duduk dibelakang meja dan membiarkan tenaga-tenaga kurang ahli melayani pengguna perpustakaan. Misalnya kegiatan penelusuran literatur yang membutuhkan kemampuan khusus serta wawasan yang luas mengenai kepustakaan.
- Bahan pustaka
Koleksi yang disediakan perpustakaan sudah out of date, sehingga pengguna kesulitan menemukan informasi yang aktual dan sesuai dengan kebutuhannya.
Faktor-faktor internal inilah yang memberikan image buruk terhadap profesi pustakawan dan berdampak pada profesionalisme pustakawan. Keberhasilan suatu perpustakaan sangat bergantung pada kemampuan pustakawan dalam mengelola dan mendayagunakan informasi yang dimilikinya.
VI. Organisasi profesi pustakawan di Indonesia
Salah satu penunjang profesi dan keprofesionalan pustakawan adalah adanya suatu organisasi profesi. Di Indonesia terdapat beragam oraganisasi profesi yang sudah cukup bernama, antara lain IDI (ikatan Dokter Indonesia), IDGI (Ikatan Dokter Gigi Indonesia). Sementara itu nama IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia) belum terdengar gaungnya.
IPI sendiri lahir dari serangkaian organisasi-organisasi profesi pustakawan yang hidupnya tidak bertahan lama. Pada tahun 1912 mulai dirintis diskusi pustakawan di Batavia. Usaha ini baru membawa hasil pada tahun 1916 dengan terbentuknya Vereeniging tot Bevordering van het bibliotheekwezen di Batavia. Organisasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1949 berdiri Vereeniging van Bibliothecarisen van Indonesie. Namun organisasi ini vakuum lagi hingga pada tahun 1954 berdiri Perkumpulan Ahli perpustakaan Seluruh Indonesia (PAPSI). PAPSI kemudian berganti nama menjadi Asosiasi Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi (APADI). Selanjutnya berdiri Himpunan Pustakawan Chusus Indonesia atau HPCI.
Akhirnya pada tahun 1973 pada Konggres Pustakawan se-Indonesia di Ciawi, terbentuklah IPI Ikatan Pustakawan Indonesia yang bertahan hingga sekarang. Semenjak pembentukannya sampai sekarang, IPI telah melaksanakan tujuh kali konggres. Selain rutin mengadakan konggres, IPI mencatat beberapa hasil antara lain menyelenggarakan Conference of Southeast Asia Librarians (CONSAL) V di Jakarta tahun 1975 dan CONSAL VIII di Jakarta tahun 1990; bertambahnya perpustakaan umum di semua kotamadya dan kabupaten; pengembangan perpustakaan desa di berbagai propinsi di Indonesia; keluarnya keputusan bersama Mendikbud dan Menteri Koordinator/ketua Bapenas mengenai jabatan fungsional pustakawan yang ditandatangani pada bulan Juli 1988.
Sulistyo-Basuki dalam bukunya Pengantar Ilmu Perpustakan, menyebutkan berbagai kendala yang belum dapat diatasi oleh IPI, antara lain :
1. Pencatatan jumlah anggota IPI. Sebagai organisasi profesi IPI belum mengetahui secara pasti berapa jumlah anggotanya. Hal ini tidak dialami oleh organisasi profesi yang lebih maju seperti dokter, pengacara atau akuntan. Bahkan di Kenya, pustakawan yang ingin bekerja harus terdaftar pada Ikatan Pustakawan Kenya.
2. Belum adanya standar pendidikan pustakawan. Yang ada baru pembakuan kurikulum untuk tingkat sarjana sementara untuk program pelatihan masih belum dibuat. Ini penting mengingat Surat Keputusan Bersama mengatur pula tentang pendidikan dan pelatihan pustakawan.
3. Belum berfungsinya kantor Sekretariat Umum IPI sehingga roda organisasi, minimal korespondensi belum berjalan sepenuhnya.
4. Keterikatan organisasi pada badan birokrasi. Pemilihan ketua lebih dipertimbangkan pada kemampuan calon ketua untuk menyediakan dana sehingga calon yang cukup berbobot tanpa fasilitas cukup akan tersingkir sementara calon dengan fasilitas baik lebih memiliki peluang untuk dipilih. Di daerah pemilihan ketua pengurus wilayah lebih banyak terpaut pada perpustakaan wilayah sehingga pengurus daerah identik dengan perpustakaan wilayah.
VII. Profil pustakawan ideal
Lokakarya Pengembangan Kurikulum Pendidikan dan Pelatihan Perpustakaan di Indonesia yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia, The British Counsil dan Perpustakaan Nasional di jakarta pada tanggal 9-11 Agustus 1994, merumuskan Profil Pustakawan Indonesia sebagai berikut :
a Aspek Profesional
Pustakawan Indonesia berpendidikan formal ilmu perpustakaan. Pustakawan juga dituntut gemar gemar membaca, trampil, kreatif, cerdas, tanggap, berwawasan luas, berorientasi ke depan, mampu menyerap ilmu lain, objektif (berorientasi pada data), generalis di satu sisi, tetapi memerlukan disiplin ilmu tertentu di pihak lain, berwawasan lingkungan, mentaati etika profesi pustakawan, mempunyai motivasi tinggi, berkarya di bidang kepustakawanan, dan mampu melaksanakan penelitian serta penyuluhan.
b Aspek Kepribadian dan Perilaku
Pustakawan Indonesia harus bertaqwa kepada Tuhan ayng Maha Esa, bermoral Pancasila, mempunyai tanggung jawab sosial dan kesetiakawanan, memiliki etos kerja yang tinggi, mandiri, loyalitas tinggi terhadap profesi, luwes, komunikatif dan bersikap suka melayani, ramah, dan simpatik, terbuka terhadap kritik dan saran, selalu siaga dan tanggap terhadap kemajuan dan perkembangan ilmu dan teknologi, berdisiplin tinggi dan menjunjung tinggi etika pustakawan Indonesia.
Melihat dari kriteria yang dihasilkan lokakarya, kelihatan tidak mudah untuk menjadikan seorang pustakawan, banyak syarat yang harus dipenuhi. Tentu saja semakin banyak syarat tersebut yang dikuasai seseorang maka ia akan menjadi pustakawan ideal.
Roberts (1992) yang dikutip Soedarsono (1994) mengutip batasan pustakawan yang ideal antara lain :
" new professionals with higt-tech skills, … user orirented; … they may have some subject affiliation; … they will not be compartementalized, as in previous functional arrangements, or fixated on one particular professional disipline, but flexible and redoployable; … they will goog communicators; and … they will be enterpreneural"
(Thompson,1991 p.169)
1. Memiliki keahlian subjek dan keterampilan
Adalah tidak mungkin bagi pustakawan untuk melayani pemakainya, kalau ia tidak mengetahui subjek yang dilayaninya. Meskipun tidak diketahui secara rinci, minimal secara umum. Untuk menjawab masuknya teknologi ke perpustakaan, maka dituntut keterampilan pustakawan untuk penggunaannya.
2. Berorientasi kepada pemakai
Apapun yang dilakukan oleh pustakawan, selalu berorientasi kepada pemakai. Pemakai adalah tujuan dari layanan. Sudah saatnya perpustakaan mengadakan evaluasi seperti apa yang dilakukan dalam dunia industri juga berorientasi kepada konsumen (pemakai) misalnya dengan mengadakan Total Quality Control (TQC), Total Quality Services (TQS), Total Quality Management(TQM) dalam pengelolaan perpustakaan.
3. Tidak terkotak-kotak dalam jenis pekerjaan
Hal ini menuntut adanya perubahan organisasi perpustakaan. Pustakawan bekerja dalam suatu tim yang kompak antara satu sama lain dan profesional dalam bidangnya. Semua orang yang bekerja di perpustakaan harus diibaratkan seperti "pemain sepak bola". Semua penting dan menguasai bidangnya. Mulai dari petugas pada lapisan paling bawah sampai pada tingkat pimpinan paling atas harus membawa misi yang sama yaitu memberikan layanan yang baik.
4. Mahir berkomunikasi
Seorang pustakawan pada hakekatnya juga seorang komunikator. Ia harus pandai berkomunikasi dengan staf, pemakainya dan administrator dimana ia berada. Kemampuan bahasa asing, terutama bahasa igngris mutlak harus dimiliki. Rektor Universitas Indonesia dalam beberapa kesempatan memberikan arahan bahwa untuk menghadapi tantangan ke depan masalah SEK harus menjadi prioritas, yaitu sains, English dan Komputer. Di samping penguasaan disiplin ilmu tertentu, harus didukung dengan kemampuan dan keterampilan berbahasa asing dan menggunakan komputer.
5. Berjiwa enterpreneur
Pustakawan sudah seharusnya dituntut wiraswasta. Bagaimanapun koleksi perpustakaan adalah investasi yang mahal. Bila tidak dimanfaatkan pemakai, maka sia-sialah dana yang diperuntukkan bagi perpustakaan. Malahan katni Kamsono Kibat yang dikutip Zen (1992) mengatakan bahwa pustakawan masa kini harus menjadi seorang mabajer, tidak hanya sebagai pustakawan.
Rahardjo (1995) mengatakan bahwa pustakawan seharusnya memiliki sifat mandiri, kreatif dan berkuslitas. Jika tidak maka ia akan kalah dalam bersaing dimasa mendatang.
6. Mandiri
Pustakawan harus berani mengambil keputusan, menanggung resiko dan tidak keanl putus asa untuk melakukan terobosan dalam layanan. Ia harus dapat menyakinkan orang lain melalui komunikasi yang baik. Melayani orang bukan lagi beban tetapi kebanggaan dan kepuasan.
7. Kreatif
Dalam dunia persaingan, pemenangnya ditentukan oleh kreatifitas. Siapa yang kreatif maka ialah pemenangnya. Ibaratnya ia tidak lagi menunggu bola tetapi datang menjemput bola. Klau orang tidak datang ke perpustakaan ia datang ke pemakainya, baik secara individu maupun secara kelompok. Meskipun pada hakekatnya perpustakaan lebih banyak memenuhi kebutuhan individu.
8. Berkualitas
Untuk dapat bekerja mandiri dan kreatif juga ditentukan oleh kualitas. Kualitas seorang pustakawan sangat ditentukan oleh latar belakang pendidikan, pengalaman dan kemauannya sendiri. Seorang pustakawan, disamping memiliki ilmu perpustakaan, ia harus memiliki ilmu yang dapat menjembatani kebutuhan pemakainya di satu pihak dengan penyajian informasi dari berbagai koleksi pihak lain. Pustakawan umumnya mengetahui caranya mencari informasi, tetapi tidak mengetahui keperluan informasi tersebut. Sebaliknya pemakai memerlukan informasi tetapi tidak terampil mencari dimana informasi tersebut berada. Disinilah letaknya jasa pustakwan berkualitas.
VIII. Penutup
Pustakawan pada dasarnya adalah profesi yang ada dalam masyarakat. Profesi pustakawan, sama halnya dengan profesi-profesi lain membutuhkan profesionalisme dari individu-individu tersebut. Tidak perlu berkecil hati, sebab walau bagaimanapun juga profesi ini berhak berkembang seperti hanya profesi lain yang dianggap lebih bonafit. Semua hal yang berkaitan dengan syarat profesi telah dipenuhi oleh profesi pustakawan.
Image mengenai pustakawan, hanya individu-individu sendiri yang mampu mengubahnya. Semua berpulang pada para pemegang profesi ini, akankan kita jadikan profesi ini sebagai profesi yang berkembang, jalan di tempat atau semakin tidak memiliki suara, hanya pustakawanlah yang mampu menjawabnya.
(Diajukan pada pengajuan fungsional pustakawan)
DAFTAR PUSTAKA
Damayani, Ninis Agustini. Profesionalisme Pustakawan : Tanggung Jawab Siapa. Makalah pada Seminar Fakultas dalam ranggka hari jadi FIKOM yang ke XXXI, Bandung, 17 Desember 1991. Bandung : Fakultas Ilmu Komunikasi UNPAD, 1991.
Ikatan Pustakawan Indonesia. Kiprah Pustakawan, seperempat abad Ikatan Pustakawan Indonesia 1973-1998. Jakarta : PB IPI, 1998
Perpustakaan Nasional RI. Jabatan Fungsional pustakawan dan angka kreditnya. Jakarta : Perpustakaan Nasional RI, 1999.
Sulistyo – Basuki. Pengantar Ilmu perpustakaan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,1991






PROFESIONALISME PUSTAKAWAN
Oleh
Hendry Gunawan dan Novita Vitriana
Pustakawan Trampil UPT Perpustakaan Universitas Sriwijaya
Abstrak
Sumberdaya manusia merupakan salah satu unsur yang penting dalam
organisasi, karena SDM sangat menentukan arah dan kemajuan organisasi.
Pustakawan sebagai SDM dalam perpustakaan harus bekerja secara
professional, sesuai dengan profesionalisme pustakawan yang tercermin
pada kemapuan (pengetahuan, pengalaman, keterampilan) dalam mengelola
dan mengembangkan pelaksanaan pekerjaan di bidang kepustakawanan dan
kegiatan lainnya secara mandiri. Profesionalisme pustakawan pun harus
terus ditingkatkan jika perpustakaan ingin terus tumbuh dan berkembang
dalam lingkungannya yang terus berubah.
Kata Kunci : pustakawan, perpustakaan dan profesionalisme
PENDAHULUAN
Pustakawan, sebuah kata yang sedang mengalami keretakan makna, melahirkan
multitafsir dan beragam persepsi. Dalam konteks keindonesiaan, pemegang kunci jendela dunia
ini, kini nasibnya tidak jauh dari para pembuka pintu lintasan kereta. Masyarakat pun
memberikan penghargaan kepada pustakawan lebih rendah dibanding kepada profesi lain seperti
dokter, pengacara, guru, peneliti, dan lain-lain. Pemerintah pun menghargai pustakawan sama
halnya dengan masyarakat umum. Dari semua jenis fungsional yang ada, pustakawan berada
pada “kasta” yang paling rendah, tentu saja dengan tunjangan yang paling sedikit. Padahal, yang
sebenarnya secara teori diatas kertas pustakawan adalah seseorang yang melaksanakan kegiatan
perpustakaan dengan jalan memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan tugas
lembaga induknya berdasarkan ilmu pengetahuan, dokumentasi dan informasi yang dimilikinya
melalui pendidikan. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1989: 713) disebutkan bahwa
pustakawan adalah orang yang bergerak di bidang perpustakaan; ahli perpustakaan. Sedangkan
berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) Nomor
__
_
18, tahun 1988 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya dan telah direvisi
dengan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 132 tahun 2002,
pustakawan diartikan sebagai Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab,
wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan
kepustakawanan pada unit-unit perpustakaan, dokumentasi dan informasi instansi pemerintah
dan atau unit tertentu lainnya. Definisi tersebut tentunya sangat mengecewakan bagi tenaga
perpustakaan yang bekerja di lembaga swasta. Batasan harus pegawai negeri sipil menutup
kemungkinan bagi tenaga perpustakaan di lembaga non pemerintah untuk masuk menjadi
pustakawan. Namun dengan adanya Undang-Undang tentang Perpustakaan No. 43 Tahun 2007
telah menumbuhkan harapan baru bagi tenaga tenaga perpustakaan di lembaga swasta. Dalam
Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa pustakawan adalah seseorang yang memiliki
kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta
mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk melaksanakan pengelolaan fasilitas layanan
perpustakaan. Kompetensi menjadi kata kunci dalam definisi tersebut karena siapapun dia, asal
memiliki kompetensi dan bekerja di perpustakaan tanpa memandang perpustakaan negeri atau
swasta dapat masuk menjadi pustakawan.
Kedudukan pustakawan dalam perpustakaan adalah orang yang mengolah perpustakaan dan
orang yang paling tahu dalam hal penelusuran dan kemauan para penelusur. Kemampuan lain
pustakawan adalah mengklasifikasi, pembagian nama domain untuk file, lokasi coding bahkan
sampai bentuk format penyimpanan metadata. Pustakawan merupakan suatu profesi, dikarenakan
pustakawan merupakan pekerjaan yang memerlukan pendidikan atau pelatihan.
A. Profesionalisme
Sumberdaya manusia merupakan salah satu unsur yang penting dalam organisasi.
seperti kita ketahui unsur-unsur organisasi yang dikenal dengan 6M tersebut adalah
Sumberdaya Manusia (Man), Peralatan (Machine), bahan-bahan (Materials), biaya (Money),
metode (Method), dan pasar (Market). SDM merupakan unsur yang paling penting. Hal ini
karena SDM sangat menentukan arah dan kemajuan organisasi. Salah satu jenis SDM yang
ada di Perpustakaan adalah Pustakawan selain tenaga-tenaga lain tentunya. Pustakawan
diakui sebagai suatu jabatan profesi dan sejajar dengan profesi-profesi lain seperti profesi
__
_
peneliti, guru, dosen, hakim, dokter, dan lain-lain. Profesi secara umum diartikan sebagai
pekerjaan. Dalam “Advanced English-Indonesian Dictionary” (1991: 658) profesi adalah
sebagai suatu pekerjaan yang membutuhkan pendidikan khusus. Sementara itu
“Encyclopedia of Social Science” (1992) memberikan batasan mengenai “Professions”
dilihat dari ciri khasnya, yaitu pendidikan teknik intelektual yang diperoleh dari pelatihan
khusus yang dapat diterapkan pada beberapa suasana kehidupan sehari-hari, yang
memberikan ciri pembeda satu profesi.
Menurut Sulistyo-Basuki (1991: 148-150) ada beberapa ciri dari suatu profesi seperti
(1) adanya sebuah asosiasi atau organisasi keahlian, (2) terdapat pola pendidikan yang jelas,
(3) adanya kode etik profesi, (4) berorientasi pada jasa, (5) adanya tingkat kemandirian.
Menurut Abraham Flexner yang dikutip Achmad (2001) dalam makalahnya
Profesionalisme Pustakawan Di Era Global, seperti yang disampaikan dalam Rapat Kerja
Pusat XI IPI XI dan Seminar Ilmiah di Jakarta; tanggal 5-7 November 2001, profesi paling
tidak memiliki dan memenuhi 5 persyaratan sebagai berikut: 1) Profesi merupakan
pekerjaan intelektual, maksudnya menggunakan intelegensi yang bebas yang diterapkan
pada problem dengan tujuan untuk memahaminya dan menguasainya. 2) Profesi merupakan
pekerjaan saintifik berdasarkan pengetahuan yang berasal dari sain. 3) Profesi merupakan
pekerjaan praktikal, artinya bukan melulu teori akademik tetapi dapat diterapkan dan
dipraktekkan. 4) Profesi terorganisasi secara sistematik. Ada standar cara pelaksanaannya
dan mempunyai tolok ukur hasilnya. 5) Profesi-profesi merupakan pekerjaan altruism yang
berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya bukan kepada diri profesionalisme.
Pustakawan sebagai profesi juga harus memiliki beberapa keterampilan antara lain:
1. Adaptability
Pustakawan hendaknya cepat berubah menyesuaikan keadaan yang menantang. Sudah
saatnya adaptif memanfaatkan teknologi informasi. Pustakawan dalam memberikan
informasi tidak lagi bersandar pada buku teks dan jurnal di rak, tetapi dengan memanfaatkan
internet untuk mendapatkan informasi yang aktual bagi penggunanya.
__
_
2. People Skills (Soft Skill)
Pustakawan adalah mitra intelektual yang memberikan jasa kepada pengguna. Mereka harus
lihai berkomunikasi baik lisan maupun tulisan dengan penggunanya. People Skills ini dapat
dikembangkan dengan membaca, mendengarkan kaset-kaset positif, berkenalan dengan
orang-orang positif, bergabung dengan organisasi positif lain dan kemudian diaplikasikan
dalam aktivitas sehari-hari.
3. Berpikir Positif
Ketika kita dihadapkan pada suatu pekerjaan yang cukup besar maka pada umumnya kita
berkata: wah…..tidak mungkin; aduh…..sulit!!!! Pustakawan diharapkan menjadi seorang
pemenang yaitu sebagai pemenang yang berpikiran positif sehingga jika dihadapkan pada
pekerjaan besar seharusnya berkata: Yes, kami bisa.
3. Personal Added Value
Pustakawan harus mempunyai nilai tambah. Pustakawan tidak hanya lihai dalam
mengindeks, mengkatalog, mengadakan bahan pustaka, dan pekerjaan rutin lainnya. Harus
ada nilai tambah misalnya dapat mencarikan informasi yang rinci di internet dan tahu
bagaimana cara cepat mancari informasi tersebut di internet.
4. Berwawasan Enterpreneurship (Kewirausahaan)
Informasi adalah kekuatan, informasi adalah mahal. Maka seyogyanya pustakawan harus
sudah mulai berwawasan enterpreneurship agar dalam perjalanan sejarahnya nanti dapat
bertahan. Lebih-lebih di era otonomi, maka perpustakaan secara perlahan harus menjadi
income generation unit. Memang sudah ada pustakawan yang berwawasan bisnis, tapi masih
belum semuanya. Paradigma lama bahwa perpustakaan hanya pemberi jasa yang notabene
tidak ada uang harus segera ditinggalkan.
__
_
5. Team Work-Sinergi
Di dalam era global yang ditandai dengan ampuhnya internet dan membludaknya
informasi, pustakawan seharusnya tidak lagi bekerja sendiri, mereka harus membentuk
team work untuk bekerja sama mengolah informasi.
Mengutip pendapat Sulistyo-Basuki dalam bukunya Pengantar Ilmu Perpustakaan, 1991:
147, profesi merupakan sebuah pekerjaan yang memerlukan pengetahuan dan keterampilan
khusus yang diperoleh dari teori dan bukan saja dari praktek, dan diuji dalam bentuk ujian
dari sebuah universitas atau lembaga yang berwenang serta memberikan hak pada orang
yang bersangkutan untuk berhubungan dengan klien. Sedangkan profesionalisme
menunjukkan ide, aliran, isme yang bertujuan mengembangkan profesi, agar profesi
dilaksanakan oleh profesional dengan mengacu norma-norma, standar dan kode etik serta
memberikan layanan yang terbaik kepada klien. Istilah profesionalisme biasanya dikaitkan
dengan penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku dalam mengelola dan
melaksanakan pekerjaan/tugas dalam bidang tertentu. Profesionalisme adalah rasa
kepemilikan akan sesuatu, yang mana dari rasa ini ia benar-benar merasa bahwa sesuatu itu
harus dijaga. Adapun profesionalisme pustakawan hanya dapat dimiliki oleh seorang
pustakawan tingkat ahli/profesional atau pustakawan yang memiliki dasar pendidikan
untuk pengangkatan pertama kali serendah-rendahnya Sarjana Perpustakaan, Dokumentasi
dan Informasi atau Sarjana bidang lain yang disetarakan. Pustakawan profesional menurut
Encarta Dictionary, 2008 seperti yang dikutip Rusmana dalam Strategi Menuju
Pustakawan Profesional, 2008 (http://www.scribd.com/doc/), “somebody very competent:
somebody who shows a high degree of skill or competence”, seorang pustakawan yang
memiliki kompetensi dalam memberikan layanan informasi dalam berbagai format, sesuai
tuntutan kebutuhan komunitas. Sedangkan profesionalisme pustakawan adalah pelaksanaan
kegiatan perpustakaan yang didasarkan pada keahlian, rasa tanggung jawab dan
pengabdian, adapun mutu dari hasil kerja yang dilakukan tidak akan dapat dihasilkan oleh
tenaga yang bukan pustakawan, dikarenakan pustakawan yang memiliki jiwa
keprofesionalan terhadap pekerjaannya akan selalu mengembangkan kemampuan dan
__
_
keahliannya untuk memberikan hasil kerja yang lebih bermutu dan akan selalu
memberikan sumbangan yang besar kepada masyarakat pengguna perpustakaan.
Profesionalisme pustakawan tercermin pada kemampuan (pengetahuan, pengalaman,
keterampilan) dalam mengelola dan mengembangkan pelaksanaan pekerjaan di bidang
kepustakawanan serta kegiatan terkait lainnya secara mandiri. Kualitas hasil pekerjaan
inilah yang akan menentukan profesionalisme mereka. Pustakawan profesional dituntut
menguasai bidang ilmu kepustakawanan, memiliki keterampilan dalam melaksanakan
tugas/pekerjaan kepustakawanan, melaksanakan tugas/pekerjaannya dengan motivasi yang
tinggi yang dilandasi oleh sikap dan kepribadian yang menarik, demi mencapai kepuasan
pengguna. Profesionalisme pustakawan harus terus ditingkatkan karena merupakan suatu
hal yang amat penting dan harus dimiliki oleh para pustakawan jika perpustakaan ingin
terus tumbuh dan berkembang dalam lingkungannya yang terus berubah.
A. Sikap Pustakawan
Seorang pustakawan di era globalisasi seperti sekarang ini dituntut untuk bekerja
secara profesional dan mampu berkomunikasi ke segenap lapisan masyarakat. Kalau perlu
pustakawan harus beberapa langkah di depan pemakainya. Artinya, pengetahuan dan
strategi akses informasi pustakawan harus lebih canggih dari pemakainya. Pustakawan
memiliki berbagai sarana akses dan mengetahui berbagai sumber informasi serta strategi
untuk mengetahui dan mendapatkannya. Ini hanya dapat dilakukan bila pustakawan selalu
mengembangkan wawasan atau pendidikan, mengikuti pelatihan, studibanding dan share
informasi sesama pustakawan dalam maupun luar negeri serta trampil menggunakan
sarana teknologi informasi dan kemampuan komunikasi, terutama bahasa Inggris. Selain
melayani, pengolahan, dan pengadaan, seorang pustakawan era globalisasi juga harus
mampu memasarkan atau promosi kepada masyarakat, mampu mengikuti trend, dan
berkeloga dalam jejaring antara pustakawan atau pengunjung seperti dikatakan oleh Tilke
dalam Teguh Yudi (Pustakawan Indonesia dalam Era Globalisasi, http://libraryteguh.
blogspot.com/2009/) ciri-ciri pustakawan masa sekarang (globalisasi) yakni (1)
Kemampuan untuk mengikuti tren perpustakaan, (2) Kemampuan untuk bekerja di
kolegial, lingkungan jaringan untuk perpustakaan, (3) Menghargai pentingnya
__
_
pemasaran/PR . Selanjutnya pustakawan selalu menjadi yang terdepan dalam penggunaan
teknologi, menekankan perangkat tambahan bagi pengguna, dan bukan hanya teknologi
untuk kepentingan teknologi, karena pustakawan memiliki kesempatan besar untuk
berbagi informasi berharga dan bertindak sebagai pembela bagi kemajuan informasi dan
teknologi. Sedangkan Stueart dan Moran (2002) mengatakan bahwa manajer informasi
atau pustakawan dalam era informasi seharusnya memiliki 7 (tujuh) kemampuan, yaitu:
1. Technical skill, yaitu seorang pustakawan harus memahami proses pekerjaan bawahan.
Adalah tidak mungkin mensupervisi, apabila tidak memahami seluk beluk pekerjaan yang
disupervisi tersebut.
2. Political skill, seorang pustakawan harus memahami masalah sosial, lingkungan
organisasi internal dan eksternal, memiliki wawasan luas.
3. Analytical skills, seorang pustakawan harus memiliki kemampuan analisis yang baik
sehingga dapat menjadi bagian dari agen perubahan.
4. Problem-solving skills, seorang pustakawan harus memiliki kemampuan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi dengan cepat, tepat dan baik.
5. People skills, seorang pustakawan harus memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik,
termasuk komunikasi interpersonal, memahami dan peduli orang lain.
6. System skills, seorang pustakawan harus memiliki kemampuan bekerja dalam system dan
menggunakan berbagai system jaringan dan komunikasi yang tersedia.
7. Business skill, seorang pustakawan harus memiliki naluri bisnis dan semangat
entrepreneurship yang baik. Koleksi yang ada merupakan asset yang harus dimanfaatkan
maksimal.
Selain itu pustakawan juga harus mampu memenuhi tuntutan-tuntutan baru seperti sebagai
spesialis informasi, memiliki pengetahuan mandalam tentang kelompok saran (pemakai) karena
pengunjung perpustakaan terus berubah, serta pustakawan harus mampu menciptakan dan
mengimplementasikan perubahan dalam berbagai sector atau lini di perpustakaan.
                _
_
Dan untuk menjadi pustakawan ideal, ada beberapa persyaratan yang harus
dipenuhi, yaitu sebagai berikut:
a. Aspek profesional
Yaitu berpendidikan formal ilmu pengetahuan. Selain itu dituntut gemar membaca,
terampil, kreatif, cerdas, tanggap, berwawasan luas, berorientasi ke depan, mampu
menyerap ilmu lain, obyektif (berorientasi pada data), tetapi memerlukan disiplin ilmu
tertentu dipihak lain, berwawasan lingkungan, mentaati etika profesi pustakawan,
mempunyai motivasi tinggi, berkarya di bidang kepustakawanan dan mampu
melaksanakan penelitian serta penyuluhan.
b. Aspek kepribadian dan perilaku
Pustakawan Indonesia harus bertakwa kepada Tuhan YME, bermoral Pancasila,
mempunyai tanggungjawab sosial dan kesetiakawanan, memiliki etos kerja yang tinggi,
mandiri, loyalitas tinggi terhadap profesi, luwes, komunikasi dan sikap suka melayani,
ramah dan simpatik, terbuka terhadap kritik dan saran, selalu siaga dan tanggap terhadap
kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, berdisiplin tinggi dan
menjunjung tinggi etika pustakawan Indonesia.
Tetapi keterpurukan citra pustakawan dirusak oleh “pustakawan” sendiri. Pada saat ini
kita sedang menyaksikan sebuah fenomena yang memilukan, yaitu para pengelola
perpustakaan merasa malu atau minder mengenalkan dirinya sebagai pustakawan. Potret
buram pustakawan dalam realitas keindonesiaan. Jika muncul sebuah pertanyaan:
kapasitas apakah yang harus kita miliki untuk membangun citra pustakawan yang baik?
Jawaban pertanyaan ini sebenarnya kembali kepada persoalan visi, misi, dan fungsi
pustakawan. Secara umum kita dapat mengatakan yang diperlukan untuk membangun
citra adalah kompetensi kepakaran kita yang dibentuk oleh dua hal yaitu hard skill dan
soft skill. Yang pertama lebih bersifat scientific achievement, sedangkan yang kedua
bersifat psychological achievement. Yang pertama berkenaan dengan penguasaan teknis
dan detail bidang kepustakawanan dan keperpustakaan, yang kedua berkaitan dengan
kemampuan berpikir strategis sebagai perumus kebijakan, wawasan masa depan (forward
_
_
looking), dan kemampuan perencanaan strategis, kemampuan perencanaan strategis,
kemampuan manajerial, kemampuan komunikasi publik, dan lainnya.
Kalau kita berkaca pada sejarah, disana kita akan menyaksikan pustakawan menjadi elit
politik dalam struktur sosial. Kedudukannya disejajarkan dengan tokoh spiritual dan para
pemegang kebijakan, karena pada waktu itu memang perpustakaan hanya ada di dua
tempat yaitu di istana (pusat kekuasaan) dan kuil atau tempat ibadah (pusat kekuatan
spiritual). Dari segi kompetensi pun seorang pustakawan biasanya memiliki berbagai
macam kecakapan (multitalenta) dan berbagai macam bahasa (polilinguish). Sebagai
contoh kita lihat misalnya Jorge Luis Borges yang pernah mengatakan “I have imagined
that paradise will be a kind of library”. Ia menjadi pustakawan dengan dilandasi oleh
keinsafan bahwa menjadi pengelola perpustakaan merupakan panggilan jiwa bukan
sekedar panggilan tugas untuk mencari nafkah. Satu lagi contoh, yang dekat dengan
kesejarahan kita, adalah GP Rouffaer, ia adalah seorang pustakawan ahli pada lembaga
studi kolonial (KITLV) yang menyusun Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie dan De
batikkunst in Nederlandsch-Indie en haar geschidiedenis (Seni Batik di Hindia Belanda
dan Sejarahnya). Rouffaer juga dilibatkan oleh Alexander Idenburg, Menteri Urusan
Jajahan, dalam penelitian tentang keadaan social, ekonomi, dan budaya masyarakat
pribumi (Kompas, 8 Januari 2007).
Borguis dan Rouffaer telah tiada dan mungkin hanya mereka berdualah
pustakawan ideal yang ada dalam sejarah peradaban manusia. Akan tetapi bukan hal yang
mustahil bahwa citra ideal tersebut menjadi sebuah inspirasi untuk memulai membangun
citra pustakawan Indonesia.
PENUTUP
Sudah saatnya kita mengurangi wacana untuk kemudian mengalihkan energi kita
lebih banyak pada pengembangan kompetensi atau kapasitas internal kita. Sebab, itulah
tampaknya yang menjadi persoalan kita, yaitu jarak antara kita, sebagai pustakawan hari
ini, dengan model pustakawan ideal yang kita inginkan masih jauh, relatif jauh, bahkan
___
_
sangat jauh. Untuk itu ada beberapa hal yang bias kita lakukan, Pertama, memperluas
wawasan makro kita tentang persoalan bangsa. Yaitu dengan memperluas pengetahuan
teoritis kita dalam bidang pendidikan, hsosial, dan perbukuan, yang kemudian
disempurnakan dengan informasi yang luas dalam bidang-bidang tersebut. Baik melalui
sumber sekunder seperti media massa, maupun sumber primer, yaitu para pelaku
langsung. Ini mengharuskan kita punya jaringan komunikasi dan informasi yang luas,
mengharuskan kita membaca lebih banyak, dan bergaul lebih luas. Kedua, meningkatkan
frekuensi keterlibatan kita dalam dunia pendidikan, literasi dan social. Pustakawan harus
terlibat dalam agenda-agenda besar nasional, mulai dari wacana sampai tataran aksi.
Contoh tentang kemiskinan, pendidikan, buta aksara, minat baca, dan lain-lain.
Keterlibatan itu dapat kita lakukan di tingkat wacana publik, asistensi kepada pemerintah
untuk pengambilan keputusan atau perumusan kebijakan publik, maupun terlibat sebagai
pelaku langsung. Ketiga, meningkatkan kemampuan kita mempengaruhi oprang lain.
Dunia sekarang ini adalah dunia jaringan, dunia kerjasama, dunia aliansi dan koalisi.
Janganlah pernah membayangkan bahwa kita akan berkembang dan bertahan sendirian.
Kita hanya akan menjadi bagian dari sebuah jaringan global. Jadi, apa yang harus kita
lakukan adalah mengembangkan kemampuan kita mempengaruhi orang lain, memperkuat
jaringan lobi ke berbagai kalangan dan membangun akses yang kuat ke para pengambil
keputusan dan penentu kebijakan. Keempat, memperbanyak figur publik kita. Jangan
hanya para pustakawan an sich yang dikenal masyarakat. Para pustakawan dalam bidang
ekonomi, politik, militer, dan teknologi kita juga harus dimunculkan. Artinya, harus ada
spesialisasi di kalangan pustakawan. Pustakawan yang punya kemampuan intelektual
lebih besar dapat diplot menjadi generalis yang dapat terlibat secara ilmiah dalam banyak
bidang pengetahuan. Tapi, sebagian besar kita harus punya satu spesialisasi yang dengan
itu ia kemudian dikenal masyarakat.
___
_
REFERENSI
Achmad. (2001). Profesionalisme Pustakawan Di Era Global. Makalah disampaikan dalam
Rapat Kerja Pusat XI Ikatan Pustakawan Indonesia XI dan Seminar Ilmiah. Jakarta: 5-7
November 2001
Administrator. (2009). Membangun Citra Pustakawan Indonesia.
http://www.bit.lipi.go.id/masyarakat-literasi/index.php/, diakses 21 Januari 2010
Depdiknas RI. (1989). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. 2. Jakarta: Balai Pustaka
Ekaningsih, Elisa. (2006). Upaya Meningkatkan Peran Pustakawan dalam Jasa Layanan
Informasi. http://library.usu.ac.id/, diakses 14 Desember 2009
Hernandono. (2005). Meretas Kebuntuan Kepustakawanan Indonesia dilihat dari sisi Sumber
daya tenaga Perpustakaan. Makalah disampaikan dalam orasi ilmiah pengukuhan
Pustakawan Utama. Jakarta: 2005
Rumpaka, Edhi Heri. (2008). Profesi Bagi Pustakawan: Bagaimana Sebaiknya?.
http://rumpaka.staf.uajy.ac.id/artikelku/, diakses 20 Januari 2010
Rusmana, Agus. (2008). Strategi Menuju Pustakawan Profesional.
http://www.scribd.com/doc/16912100/, diakses 20 Januari 2010
Salim, Peter. (1991). Advanced English-Indonesian Dictionary. 3 rd Ed. Jakarta: Modern English
Press
Subrata, Gatot. (2009). Upaya Pengembangan Kinerja Pustakawan Perguruan Tinggi Di Era
Globalisasi Informasi. http://library.um.ac.id/, diakses 20 Januari 2010
Sulistyo-Basuki. (1991). Pengantar Ilmu Perpustakaan. Cet. 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Yudi, Teguh. (2009). Pustakawan Indonesia Di Era Globalisasi. http://libraryteguh.
blogspot.com/, diakses 20 Januari 2010




Meretas Kebuntuan Profesi Pustakawan Indonesia*)
A. Pengantar
Profesi pustakawan sering menimbulkan polemik di tengah masyarakat, bahkan di kalangan pustakawan sendiri. Tak banyak orang yang mengenal dan mengetahui siapa itu pustakawan dan apa pekerjaannya. Masyarakat umumnya tahu bahwa di perpustakaan ada pekerja yang memberikan layanan informasi, namun seringkali mereka tidak tahu siapakah yang disebut pustakawan itu. Bahkan mendengar kata ‘pustakawan’ saja pun mungkin jarang. Hal ini mudah sekali diketahui. Tanyakanlah kepada masyarakat umum :”siapakah yang bekerja di perpustakaan?” Hampir dapat dipastikan, jawabannya adalah :”petugas perpustakaan, atau karyawan.” Atau coba tanyakan kepada anak-anak yang masih kecil :’kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?’ Seringkah atau pernahkah Anda mendengar ada anak yang menjawab :”aku mau jadi pustakawan!” Jawaban yang lazim terdengar adalah :”aku mau jadi dokter, pilot, pramugari, presiden, guru, artis.”
Menjadi pustakawan memang tidak mudah. Selain tidak populer, pekerjaan ini juga ditengarai tidak menjamin kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik. Berbeda jauh dari profesi dokter misalnya. Seorang dokter, sekalipun sedang menganggur, tapi apresiasi masyarakat terhadap profesinya tak pernah surut. Mendengar kata :’dia itu dokter lho”, rasanya orang sudah hormat padanya. Artinya, status sosial seorang dokter, sekalipun dalam kondisi tidak berpenghasilan, tetap lebih layak dan lebih terhormat. Lalu jika dibandingkan dengan profesi guru pun, pustakawan tetap kalah populer. Guru, sekalipun dianggap profesi yang tidak menjamin kehidupan ekonomi yang lebih baik, tapi di mata masyarakat tetap memiliki kesan tersendiri. Masyarakat hormat pada guru. Bahkan menyebutnya sebagai ’pahlawan tanpa tanda jasa’. Banyak juga penghormatan simbolis yang ditujukan kepada guru, seperti hari guru, lagu-lagu untuk guru, dan kata-kata mutiara tentang guru. Pustakawan? Masih jarang terdengar hal-hal seperti itu.
Lalu, di mana sebetulnya letak persoalannya? Mengapa profesi pustakawan tidak sepopuler profesi lain yang notabene sama-sama memberikan layanan kepada masyarakat? Apa yang harus dilakukan oleh pustakawan untuk mendapat pengakuan dari masyarakat bahwa mereka eksis?
B. Profesi Pustakawan
Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan, dsb.) tertentu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990 : 702).
Sedangkan profesional adalah hal-hal yang berkaitan dengan profesi ; memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya; mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya (lawan amatir).
Pada awalnya pengertian profesionalisme hanya dimonopoli oleh pekerjaan-pekerjaan yang menuntut adanya kemandirian. Artinya tanpa bantuan pihak lain, pekerjaan itu bisa dilakukan oleh seorang profesional. Dalam pengertian ini, maka profesionalisme sering melekat pada diri dokter atau pengacara, karena mereka memiliki keahlian tertentu dan menjalankan pekerjaannya sendiri, tanpa bantuan pihak lain. Para dokter dan pengacara masing-masing membentuk organisasi profesional, yang biasanya disebut disebut asosiasi. Tugasnya, selain untuk meningkatkan kualiatas kerja, juga melakukan pengawasan terhadap kode etik profesi masing-masing.
Bidang lain, seperti jurnalis (wartawan), arsitek, akuntan, dalam perkembanganya juga mengembangkan visi profesionalisme seperti yang terjadi pada profesi dokter dan pengacara.Orang-orang di tiga profesi tersebut juga mengandaikan, bahwa mereka bisa bekerja mandiri tanpa bantuan dan atau terikat dengan pihak lain. Mereka membangun standarisasi kerja dan kode etik profesi melalui organisai asiosasi yang dibentuknya.
Seiring dengan perkembangan zaman, di mana masyarakat industri berkembang menjadi semakin kompleks, semakin sulit pula diartikan apa yang disebut dengan pekerjaan mandiri. Demi efisiensi dan efektivitas kerja, orang-orang profesional lebih memilih bekerja secara berkelompok. Para pemilik modal mendirikan perusahaan-perusahaan yang memperkerjakan kaum profesional. Dan dalam perkembangannya kemudian, para pekerja profesional banyak yang bekerja pada perusahaan-perusahaan tersebut.
Menurut Sulistyo-Basuki (1991 : 147) profesi merupakan sebuah pekerjaan yang memerlukan pengetahuan dan ketrampilan khusus yang diperoleh dari teori dan bukan saja praktik, dan diuji dalam bentuk ujian sebuah universitas atau lembaga yang berwewenang dan memberikan hak kepada orang yang bersangkutan untuk berhubungan dengan klien atau nasabah. Artinya, profesi harus dilandasi oleh jenjang pendidikan tinggi. Profesi tidak diperoleh dari pengalaman.
Sudarsono (1991 : 1) menguraikan 4 hal penting mengenai profesi, yaitu :
(1) profesi yang ideal dicirikan dengan memberikan jasa yang amat penting bagi masyarakat
(2) pendidikan dijadikan landasan dalam pencapaian kesuksesan profesi
(3) karena pekerjaan memerlukan spesialisasi, masyarakat mengakui hak profesi untuk memberikan jasa, serta kekuasaan untuk menerima anggota baru dengan mengevaluasi serta mengatur penampilan kerja dan perilaku anggotanya,
(4) pekerjaan profesi mencakup pengambilan keputusan dan pemecahan soal yang harus didasarkan pada pengetahuan profesi serta kebutuhan masing-masing pemakai jasa.
Artinya : pekerjaan profesi menuntut derajat otonomi perorangan yang tinggi, memiliki kode etik yang diakui dan diterima oleh seluruh warganya. Profesi juga dapat dikatakan sebagai panggilan bagi seseorang dan pekerjaan merupakan jalan hidupnya, serta secara sungguh-sungguh memikirkan penampilan dan perkembangan profesinya. Profesi berkaitan dengan pekerjaan profesional, artinya segala pekerjaan yang berkaitan dengan atau merupakan bagian dari profesi (Sulistyo-Basuki, 1991 : 147).
Menurut Joseph (1991 : 19) pekerjaan profesional memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1) Memiliki pengetahuan khusus yang diperoleh melalui pendidikan formal.
2) Memiliki hak otonomi, yaitu kebebasan untuk menentukan keputusan berdasarkan wewenang atau kepentingan yang dimiliki.
3) Memiliki komitmen yang tinggi dan berminat terus dalam mengembangkan profesi, sehingga ahli pada profesi yang digelutinya.
4) Memiliki tanggungjawab pada etika yang telah ditentukan profesi dalam menjalankan tugas.
5) Memiliki tanggungjawab untuk menjalankan dan mempertahankan standar profesi yang berlaku.
6) Memiliki kemampuan bersosialisasi dengan kelompok profesional lainnya.
Dari beberapa pernyataan di atas, jelas bahwa profesi harus berlandaskan pada jenjang pendidikan formal dan memiliki etika tertentu yang menjadi panduan dalam menjalankan profesi tersebut.
Makna profesi berbeda dengan pekerjaan. Menurut Howsan (dalam Wirawan, 1996 : 1) pekerjaan adalah setiap aktivitas kerja yang menghasilkan imbalan atau tidak berimbalan, sedangkan profesi adalah pekerjaan dalam arti khusus dan dengan persyaratan tertentu. Profesi memerlukan beberapa syarat, yaitu :
(1) profesi merupakan jasa yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi masyarakat (kesejahteraan, kesehatan, keadilan, pendidikan dan sebagainya).
(2) profesi untuk melayani klien (pemakai), yaitu individu dan masyarakat, bukan untuk kepentingan diri profesional.
(3) untuk melaksanakan profesi diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi tertentu, bukan hanya sekedar ketrampilan dan pengalaman.
Eksistensi tenaga profesional pustakawan telah diakui pemerintah secara resmi dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara No.18/MENPAN/1988 tentang Angka Kredit Bagi Jabatan Pustakawan. Para ahli atau pemerhati pustakawan pun secara jelas mengakui eksistensi pustakawan sebagai suatu profesi.
Benge (1972 : 222) berpendapat bahwa kepustkawanan adalah suatu kata benda yang berarti suatu profesi atau suatu badan ilmu pengetahuan yang dapat dipelajari atau merupakan aplikasi ilmu pengetahuan terhadap kegiatan praktis. Kegiatan yang tercakup dalam kepustakawanan adalah :
(1) pengumpulan bahan pustaka
(2) pelestarian bahan pustaka
(3) pengorganisasian bahan pustaka
(4) penyebaran sumber informai yang dikandung bahan pustaka
Jika ditilik dari segi kualifikasinya pustakawan dibagi menjadi pustakawan profesional, semiprofesional, dan teknisi (Sulistyo-Basuki, 1991 : 151-203). Pustakawan profesional adalah tenaga yang memiliki sertifikat atau diploma setingkat diploma 2 dalam ilmu perpustakaan, sedangkan teknisi merupakan tenaga perpustakaan yang berpendidikan SLTA ke bawah dengan pendidikan kepustakawanan satu tahun atau kurang. Hal senada dinyatakan oleh Tjitropranoto (1995 : 29-30) yang menggambarkan tenaga profesional pustakawan berdasarkan keahlian dan ketrampilan dengan ciri sebagai berikut :
(1) mempunyai metodologi, teknik analisis, seta teknik dan prosedur kerja yang didasarkan pada disiplin ilmu pengetahuan dan atau pelatihan teknis tertentu dengan sertifikasi.
(2) memiliki etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi.
(3) dapat disusun dalam suatu jenjang jabatan berdasarkan : tingkat keahlian bagi jabatan fungsional keahlian, tingkat ketrampilan bagi jabatan fungsional ketrampilan.
(4) pelaksanaan tugas bersifat mandiri.
(5) jabatan fungsional tersebut diperlukan dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi.
Menurut Kast (1990), pustakawan termasuk jenis profesi yang mengandung unsur inklusif yaitu jasa profesi yang secara langsung menyentuh semua lapisan masyarakat. Sama dengan dokter, pustakawan berkewajiban melayani kebutuhan informasi semua masyarakat, tanpa memandang status apapun.
Senada dengan itu, Sulistyo-Basuki mendefinisikan profesi pustakawan mempunyai ciri sebagai berikut :
1) Adanya sebuah asosiasi atau organisasi keahlian.
2) Adanya struktur dan pola pendidikan yang jelas.
3) Adanya kode etik.
4) Adanya tingkat kemandirian.
5) Profesi pustakawan berorientasi pada jasa.
Maka dapat dikatakan bahwa profesi pustakawan adalah suatu profesi yang menunjukkan tugas, tanggungjawab, wewenang dan hak pustakawan didasarkan pada keahlian dan atau ketrampilan dalam melaksanakan kegiatan perpustakaan, dokumentasi dan infomasi yang bersifat mandiri.
Keahlian dan ketrampilan di bidang perpustakaan atau kompetensi memadai yang dipersyaratkan di bidang perpustakaan menandakan profesi pustakawan menempati posisi dalam kategori profesi yang profesional. Menurut Steers (1991 : 180) aspek profesionalitas pustakawan tidak berbeda dengan profesi lainnya dengan tolok ukur sebagai berikut :
(1) Ketrampilan, kemampuan dan pengetahuan. Ketrampilan mengacu pada kualitas penampilan dalam pelaksanaan aktivitas kerja. Kemampuan menunjukkan ketajaman berpikir dalam mengemas dan menyelesaikan pekerjaan dengan tepat. Pengetahuan berkaitan dengan wawasan di bidang perpustakaan serta bidang lainnya sebagai landasan terciptanya daya kreasi, gagasan atau prinsip-prinsip yang diperlukan dalam pekerjaan.
(2) Kedewasaan psikologis, berhubungan dengan kesiapan mental pustakawan dalam menghadapi tugas serta tanggungjawab atas hasil serta konsekuensi pekerjaannya, selalu bersikap terbuka dalam menerima masukan atau kritik yang konstruktif.
Sosiolog terkenal Amerika, William J. Goode (1996 : 152) berpendapat bahwa setiap pekerjaan berusaha berkembang menjadi profesi. Akan tetapi pustakawan belum layak menjadi profesi dan tidak akan pernah menjadi profesi karena pustakawan mempunyai kekuasaan yang sangat lemah terhadap kliennya. Berkaitan dengan itu, Putu Pendit mengusulkan suatu model kepustakawanan Indonesia dengan melihat kaitannya dengan nilai-nilai yang dianut suatu masyarakat serta kemampuan masyarakat mengartikulasikan nilai-nilai tersebut (Pendit, 1991 : 4).
Sebagai profesi, sebetulnya kepustakawanan mempunyai fungsi tradisional dan fungsi sosial yang bertujuan menopang kehidupan dan perkembangan masyarakat. Fungsi tradisional kepustakawanan berupa fungsi yang melekat pada profesi tersebut yaitu mengumpulkan, memroses, menyimpan dan memberikan layanan bahan pustaka kepada pengguna. Sedangkan fungsi sosial kepustakawnaan ialah fungsi yang menopang semua aspek kehidupan dan perkembangan masyarakat. Pada kenyataannya, khususnya di Indonesia fungsi yang pertama lah yang lebih menonjol. Sedangkan fungsi ke dua, yang justru mengandung filosofi kepustakawanan, masih jarang disentuh. Atau bahkan belum dipahami pustakawan sendiri.
C. Mencari Akar Permasalahan
Sejujurnya tidak banyak perubahan akan kondisi kepustakawanan Indonesia, sejak jaman orde baru. Posisi pustakawan sebagai elemen pelengkap di lembaga mana pun tidak banyak berubah ke arah yang lebih baik. Di Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, pustakawan ’hanyalah’ unsur pendukung. Di sisi lain, pustakawan sendiri seperti tidak perduli dengan eksistensinya. Tidak banyak pustakawan yang memikirkan persoalan-persoalan global dan mendasar di luar rutinitas masing-masing. Pustakawan lebih sibuk dan fokus dengan pekerjaan rutin mereka : memilih koleksi, mengolah koleksi, melayani pengguna, menyebarkan informasi. Hanya segelintir orang yang peduli dengan ’nasib’ pustakawan itu sendiri. Ironisnya, segelintir yang perduli inipun seringkali jusru bukan dari kalangan pustakawan, tapi dari kalangan pengamat perpustakaan atau praktisi di bidang lain yang sering bersentuhan dengan dunia kepustakawanan.
Tentu tak dapat disalahkan seratus persen jika pustakawan tidak memiliki fokus perhatian pada pengembangan profesi mereka. Masalahnya, pengembangan profesi merupakan salah satu cara untuk mempertahankan eksistensi suatu profesi. Lihat saja IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Asosiasi ini sangat aktif dalam mengembangkan profesionalisme dokter. Mereka juga melakukan perlindungan terhadap para anggotanya dengan berbagai cara. Mereka fokus menjaga kode etik dan mengembangkan visi profesionalisme dokter melalui asosiasinya.
Dari berbagai literatur atau hasil penelitian terhadap profesi pustakawan, serta melihat kondisi di lapangan, penulis menganggap bahwa persoalan utama pustakawan ada pada diri pustakawan sendiri. Banyak pustakawan tidak yakin dengan profesi yang diembannya. Bahkan mungkin tidak memahami fungsi dan tanggungjawabnya. Rasa percaya diri pustakawan, apalagi jika berhadapan dengan profesi lain, rendah! Itu pula sebabnya, banyak pustakawan yang lebih suka menyebut dirinya “information specialist’, “broker information”, “information provider”, dan sebagainya. Semua upaya ini adalah dalam rangka menegakkan eksistensi pustakawan. Namun di sisi lain, istilah-istilah tersebut justru menenggelamkan istilah ’pustakawan’ itu sendiri.
Hal lain yang patut disorot adalah kurangnya pemahaman masyarakat tentang tugas dan tanggungjawab seorang pustakawan. Sangat lazim terdengar bahwa masyarakat menganggap pustakawan adalah petugas yang bekerja di perpustakaan, melayani pengguna yang ingin meminjam buku. Kenapa ini terjadi? Jawabannya cukup jelas : karena masyarakat jarang melihat atau mengetahui pustakawan mengerjakan hal-hal lain di luar itu. Bahkan dalam pelayanan sehari-hari pun jamak terdengar keluhan dari pengguna :”petugas perpustakaannya tidak profesional!” Pertanyaannya adalah : siapa yang paling bertanggungjawab?
Faktor berikutnya adalah kebijakan yang tidak berpihak pada pustakawan, baik secara nasional maupun di lembaga. Posisi pustakawan belum memungkinkan untuk memiliki bargaining position yang kuat. Hal ini terlihat jelas dalam struktur organisasi di lembaga-lembaga pendidikan atau instansi lain yang menempatkan pustakawan pada posisi di bawah level manajer. Bahkan banyak lembaga yang tidak memunculkan pustakawan dalam struktur organisasinya!
D. Asosiasi Saja Tidak Cukup!
Pengembangan profesi memang efektif dilakukan melalui pembentukan asosiasi. Seperti halnya komunitas dokter, IDI sangat berperan dalam melanggengkan profesi dokter. Namun asosiasi saja tidaklah cukup. Berbicara tentang asosiasi, sesungguhnya berbicara tentang orang-orangnya juga. Sebuah asosiasi akan eksis jika orang-orangnya memiliki komitmen yang tinggi terhadap profesinya.
Saat ini, pustakawan Indonesia memiliki banyak organisasi kepustakawanan. IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia), ISIPII (Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia), hanyalah dua contoh organisasi profesi pustakawan yang ada. Namun harus diakui bahwa ke dua asosiasi tersebut belum berbuat banyak untuk pustakawan Indonesia. Carut marut kepengurusan dan kurangnya komitmen pustakawan sendiri justru menjadi persoalan utama. Di sisi lain, banyak pustakawan yang menaruh harapan pada asosiasi tersebut. Tapi menaruh harapan saja takkan pernah menyelesaikan masalah, jika tidak terlibat langsung mewujudkan harapan itu. Adalah mustahil jika hanya menggantungkan harapan pada orang lain tanpa memiliki kontribusi untuk mewujudkan harapan tersebut.
E. Apa yang dapat dilakukan?
Sesungguhnya banyak hal yang dapat dilakukan oleh pustakawan Indonesia untuk memperkuat eksistensinya di tengah-tengah profesi lain. Beberapa hal mendasar yang perlu disadari adalah sebagai berikut :
1) Visi kepustakawanan.
Setiap pustakawan idealnya memahami visi kepustakawanan Indonesia, sehingga dalam mengerjakan pekerjaannya, pustakawan yakin betul bahwa apa yang dilakukannya adalah untuk mencapai visi itu.
2) Fungsi sosial pustakawan.
Adalah keliru jika mengatakan pekerjaan pustakawan hanya berkaitan dengan hal-hal teknis. Fungsi sosial kepustakawanan sebagai fungsi yang menopang semua aspek kehidupan dan perkembangan masyarakat seharusnya menjadi fokus pengembangan pustakawan sehingga masyarakat dapat melihat langsung peran pustakawan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu pustakawan harus menyadari bahwa setiap komponen pekerjaan dan layanan yang ada di perpustakaan harus ditujukan untuk mendukung pencapaian kualitas hidup masyarakat yang lebih baik. Perpustakaan harus dapat menjadi tempat di mana tercipta pemelajar seumur hidup. Kompetensi yang dibutuhkan untuk ini berkaitan dengan pemahaman akan budaya dan nilai-nilai sosial masyarakat. Pustakawan adalah budayawan!
3) Sifat pekerjaan pustakawan.
Pekerjaan pustakawan tergolong pekerjaan altruisme, yaitu pekerjaan yang lebih mementingkan kepentingan orang lain. Sifat ini menuntut adanya ciri ’jiwa melayani’ pada pustakawan serta memiliki empati yang tinggi. Kompetensi yang dibutuhkan untuk ini menyangkut kemampuan berkomunikasi yang efektif, pengenalan berbagai karakter manusia dan komitmen yang tinggi untuk membantu orang lain.
F. Darimana Harus Diawali?
Ke tiga faktor di atas dapat diretas sejak dini di bangku sekolah atau kuliah, khususnya di program studi perpustakaan. Kurikulum di bidang perpustakaan harus diarahkan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki visi kepustakawanan Indonesia, memahami fungsi sosial dan sifat pekerjaan pustakawan. Saat ini, ke tiga hal ini justru baru disadari ketika pustakawan sudah hampir pensiun!
Selain melalui jalur pendidikan formal, ke tiga aspek tersebut di atas juga dapat diberikan dalam materi pelatihan atau program Pendidikan dan Pelatihan (DIKLAT) yang dikelola oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). PNRI juga dapat mengembangkan suatu program yang bersifat sustainable yang bertujuan membentuk pustakawan yang memiliki visi, fungsi sosial dan sifat altruisme, misalnya melalui program bimbingan langsung atau melalui buku-buku. Hal ini dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan asosiasi, lembaga pendidikan dan perpustakaan umum daerah.
G. Siapa yang Harus Memulai?
Tanggungjawab kepustakawanan tetap ada pada pustakawan. Adalah tidak fair jika pustakawan hanya mengandalkan ’kebaikan’ pemerintah dalam mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapinya. Sejarah kepustakawanan memang tidak lepas dari kepentingan-kepentingan politis pemerintah, tapi bahwa kepustakawanan Indonesia tumbuh dan berakar di tengah-tengah masyarakat, adalah suatu kenyataan yang tidak perlu disangkal.
Pengembangan kurikulum tentu menjadi tanggungjawab lembaga pendidikan khususnya perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan ilmu perpustakaan dan informasi. Di tengah-tengah derasnya perkembangan ilmu, lembaga penyelenggara pendidikan ilmu perpustakaan harus lebih proaktif dan peka terhadap tuntutan masyarakat. Bukan saatnya lagi ’sembunyi’ dari dunia luar dan berkutat di ruang-ruang kuliah, mencetak para sarjana perpustakaan yang hanya mengerti cara mengkatalog koleksi! Kemampuan teknis pustakawan tetap diperlukan, namun harus disadari bahwa dalam kenyataannya ketrampilan tersebut dapat dilakukan orang lain dalam jangka waktu relatif singkat. Lulusan sekolah perpustakaan harus memiliki keunggulan atau kelebihan lain di luar katalogisasi.
Disamping lembaga pendidikan, sesungguhnya PNRI menduduki posisi sangat strategis. Dengan dukungan dana dan ’power’ yang dimilikinya, PNRI dapat berbuat banyak untuk memperkuat eksistensi pustakawan dalam kancah kepentingan nasional bangsa. Menjalin kerjasama dengan departemen terkait, seperti Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Komunikasi dan Informatika, serta lembaga-lembaga lain, memungkinkan PNRI membuka jalur hubungan komunikasi yang lebih intens dengan para pengambil kebijakan. PNRI seharusnya tidak hanya berkutat dengan urusan-urusan atau kegiatan-kegiatan bersifat rutin di perpustakaan, namun lebih fokus pada pembentukan visi kepustakawanan dan pencapaiannya.
PNRI, harus membuka ’jalan’ bagi asosiasi pustakawan dan para pustakawan untuk lebih mengembangkan diri. Membuka program beasiswa pada pustakawan yang kompeten, atau memberikan insentif untuk kegiatan yang bersifat kajian dan penelitian di bidang kepustakawanan, adalah beberapa contoh kecil yang seharusnya dapat dilakukan oleh PNRI.
G. Penutup
Profesi pustakawan Indonesia hanya akan eksis jika dilakoni oleh sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang tepat. Di bidang apapun, kualitas SDM selalu menjadi penentu. Tak terkecuali pustakawan. Asosiasi pustakawan perlu mempertimbangkan jenjang pendidikan sebagai persyaratan menjadi seorang pustakawan. Asosiasi juga harus memberi peluang dan kesempatan bagi para generasi yang lebih muda untuk mengembangkan profesi kepustakawanan sesuai visi yang ditetapkan. Para pustakawan sendiri harus memiliki pemahaman mengenai kepustakawanan Indonesia dan perannya sebagai anggota profesi pustakawan. Satu hal yang tidak kalah penting adalah profesi atau asosiasi apapun, sangat penting menjalin hubungan dengan profesi atau asosiasi lain. Pustakawan misalnya, dapat menjalin hubungan baik dengan para ilmuwan, pengembangan teknologi perpustakaan dan kalangan pengguna. Demikian juga asosiasi.
Kiprah pustakawan Indonesia belum terlihat nyata di tengah-tengah masyarakat, apalagi di dunia internasional. Adalah tugas dan tanggungjawab semua pustakawan Indonesia untuk mengurai kebuntuan yang dialami profesi pustakawan saat ini, sehingga di masa depan pustakawan diakui sebagai salah satu komponen utama dalam pembentukan masyarakat pemelajar seumur hidup. Semuanya kembali kepada pustakawan. Siapkah Anda….?
**********
DAFTAR PUSTAKA
Benge, Ronald C. 1972. Libraries and Cultural Change. USA : The Shoe String Press.
Goode, William J. 1996. The Librarian : from Occupation to Profession : Teachers, Nurse, Social Worker. New York : The Free Press.
Kast, Fremont E. 1990. Organisasi dan Manajemen. Jakarta : Bumi Aksara.
Pendit, Putu Laxman. 1991. Kelompok Profesional atau Gerombolan Tukang? Majalah Perpustakaan & Informasi, 1(1) : 3-5.
Steers, Richard M. and Porter, Lyman W. 1991. Motivation and Work Behavior. New York : McGraw-Hill.
Sudarsono, Blasius. 1994. Peran Pustakawan dalam Pembangunan Nasional Indonesia. Majalah Ikatan Pustakawan Indonesia. Vol. 16, Nomor 1-2.
Sulistyo-Basuki. 1991. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta : Gramedia.
Tjitropranoto, Prabowo. 1995. Kriteria Sumber Daya Manusia di Perpustakaan. Jurnal Perpustakaan Pertanian. Vol. IV (2).
Wirawan. 1996. Profesi Pustakawan Indonesia dalam Era Globalisasi. Makalah pada Semiloka Perpustakaan Lembaga Pendidikan Tinggi Swasta 11-14 Nopember 1996 di Jakarta.